Ahad 13 Sep 2020 11:08 WIB

Studi: Jarak Sosial yang Ketat Turunkan Potensi Covid-19

Tanpa vaksin, pengaturan jarak ketat efektif tekan laju kasus Covid-19.

Rep: Puti Almas/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah pengunjung melihat pameran karya pelukis Hanafi berjudul 60 tahun dalam studio di Galerikertas, Depok, Jawa Barat, Sabtu (11/7). Galerikertas membuka kembali pameran seni rupa dengan menerapkan protokol kesehatan seperti pembatasan jarak fisik, membatasi jumlah pengunjung dan menggunakan masker untuk mencegah penyebaran Covid-19. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pengunjung melihat pameran karya pelukis Hanafi berjudul 60 tahun dalam studio di Galerikertas, Depok, Jawa Barat, Sabtu (11/7). Galerikertas membuka kembali pameran seni rupa dengan menerapkan protokol kesehatan seperti pembatasan jarak fisik, membatasi jumlah pengunjung dan menggunakan masker untuk mencegah penyebaran Covid-19. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menerapkan jarak sosial adalah salah satu cara terbaik bagi setiap orang untuk menurunkan risiko tertular infeksi virus corona jenis baru (Covid-19). Selain itu, menurut sebuah studi baru yang dilakukan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, upaya lainnya adalah menghindari penggunaan transportasi umum.

Para peneliti mensurvei sampel acak lebih dari 1.000 orang di Maryland pada akhir Juni. Beberapa pertanyaan yang diberikan kepada para peserta survei di antaranya adalah apakah tentang praktik jarak sosial, penggunaan transportasi umum, dan perilaku, serta sejarah terkait virus corona.

Baca Juga

Apa yang ditemukan para peneliti adalah bahwa mereka yang sering menggunakan transportasi umum empat kali lebih mungkin melaporkan riwayat dites positif virus corona jenis baru. Sementara, hanya mereka yang mempraktikkan jarak sosial luar ruangan yang ketat hanya sepersepuluh cenderung melaporkan positif.

Selain itu, riwayat infeksi enam belas kali lebih tinggi di antara mereka yang melaporkan pernah mengunjungi tempat ibadah tiga kali atau lebih dalam dua minggu sebelumnya. Jumlah ini dibandingkan dengan mereka yang melaporkan tidak melakukan kunjungan.

Hasil penelitian menunjukkan 5,3 persen responden pernah dites positif Covid-19. Sementara, 1,7 persen dilaporkan positif terinfeksi virus corona jenis baru dalam waktu dua minggu sebelum survei.

“Temuan kami mendukung gagasan bahwa jika Anda pergi keluar, Anda harus mempraktikkan jarak sosial sejauh mungkin karena tampaknya sangat terkait dengan kemungkinan yang lebih rendah untuk terinfeksi,” ujar Sunil Solomon, profesor di Fakultas Kedokteran Johns Hopkins, sekaligus penulis senior studi, dilansir National Interest, Ahad (13/8).

Solomon juga mengatakan studi tersebut relatif mudah dilakukan. Karena itu, penelitian tersebut berpotensi menjadi alat berguna untuk mengidentifikasi tempat atau subkelompok populasi dengan kerentanan yang lebih tinggi.

Data penelitian juga mengungkapkan adopsi yang lebih besar dari praktek jarak sosial di antara kelompok berisiko tinggi. Lebih dari 80 persen responden berusia 65 tahun ke atas melaporkan bahwa mereka selalu menjaga jarak sosial ketika melakukan aktivitas di luar ruanga. Sementara, hanya 58 persen dari mereka yang berusia 18 hingga 24 tahun melakukan hal yang sama.

Hasilnya sejalan dengan pesan kesehatan masyarakat umum yang menggembar-gemborkan manfaat keselamatan dari pemakaian masker, jarak sosial, dan membatasi perjalanan. Tanpa vaksin yang layak untuk digunakan, para pejabat dan ahli medis mengandalkan langkah-langkah sederhana ini untuk membatasi penyebaran virus corona jenis baru lebih lanjut.

Para peneliti menambahkan survei sejenis dapat membantu menentukan di mana hot spot atau titik panas terkait Covid-19 berikutnya akan berada. Kami melakukan penelitian ini di Maryland pada Juni dan di antaranya menunjukkan orang-orang yang lebih muda di negara bagian tersebut cenderung mengurangi risiko infeksi mereka dengan jarak sosial dan sebulan kemudian sebagian besar Covid-19 terdeteksi di Maryland termasuk di antara orang-orang yang lebih muda.

“Jadi, ini menunjukkan kemungkinan menggunakan survei cepat dan murah ini untuk memprediksi di mana wabah akan terjadi berdasarkan perilaku, dan kemudian memobilisasi sumber daya kesehatan masyarakat yang sesuai,” jelas Solomon.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement