Jumat 11 Sep 2020 22:18 WIB

TII: Pulihkan Ekonomi Memang Butuh Atasi Krisis Kesehatan

Peneliti TII menyebut Pemprov DKI harus memberikan insentif untuk menjaga ekonomi

Rep: Ali Mansur/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan (kiri) bersama Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria (kanan). Peneliti bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Muhamad Rifki Fadilah, mengatakan kebijakan PSBB total DKI Jakarta akan membawa implikasi yang tidak mudah. Jika DKI Jakarta kembali melakukan kebijakan PSBB Total, maka proses pemulihan ekonomi dalam jangka pendek akan terhambat.
Foto: Pemprov DKI Jakarta
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan (kiri) bersama Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria (kanan). Peneliti bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Muhamad Rifki Fadilah, mengatakan kebijakan PSBB total DKI Jakarta akan membawa implikasi yang tidak mudah. Jika DKI Jakarta kembali melakukan kebijakan PSBB Total, maka proses pemulihan ekonomi dalam jangka pendek akan terhambat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Muhamad Rifki Fadilah, mengatakan kebijakan PSBB total DKI Jakarta akan membawa implikasi yang tidak mudah. Jika DKI Jakarta kembali melakukan kebijakan PSBB Total, maka proses pemulihan ekonomi dalam jangka pendek akan terhambat. Karena semua indikator pembalikan ekonomi akan berubah lagi menjadi negatif. 

"Semua orang akan kembali ke rumahnya masing-masing. Artinya, kegiatan bekerja, berproduksi, berbelanja, dan aktivitas ekonomi lainnya harus dipaksa berhenti kembali. Kondisi ini tentu akan berdampak luas kepada perekonomian secara agregat, terlebih DKI Jakarta menjadi pusat penopang perekonomian Indonesia,” papar Rifki dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Jumat (11/9).

Namun, Rifki, juga menyatakan bahwa sektor ekonomi tidak dapat berjalan penuh selama sektor kesehatan belum dapat diatasi. Selama vaksin belum diproduksi secara massal, maka protokol kesehatan juga masih harus tetap di jalankan. Dan, tidak menutup kemungkinan kebijakan PSBB ketat juga akan diberlakukan kembali. 

“Implikasinya, ekonomi tidak akan beroperasi 100 persen. Putaran berikutnya, jika hal ini terus-menerus dibiarkan,  maka pemulihan ekonomi juga akan terhambat. Oleh sebab itu, untuk menyelesaikan krisis ekonomi, kita perlu mengatasi krisis kesehatan terlebih dahulu. Dengan demikian, trade off antara ekonomi dan kesehatan tidak akan terjadi,” kata Rifki 

Rifki menyarankan pemerintah untuk menyukseskan kebijakan PSBB tanpa membawa trade off yang berat bagi perekonomian. Pertama, untuk membuat kebijakan PSBB Total ini berjalan dengan sukses, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus melakukan pengawasan secara ketat kepada warga DKI Jakarta. 

“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat berkoordinasi dengan para wali kota hingga jajaran pemangku kepentingan hingga level mikro di masyarakat, seperti ketua RT/RW untuk melakukan pengawasan secara ketat pelaksanan PSBB Total DKI Jakarta. Dengan demikian, kebijakan PSBB ini dapat berjalan dengan efektif,” katanya.  

Kedua, kebijakan PSBB akan bias kepada kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak memiliki pilihan lain selain melakukan seperti bekerja atau berjualan di pasar. Kebijakan PSBB total memaksa semua orang beraktivitas dari dan di rumah. Maka, para pelaku bisnis, pekerja, maupun pihak terkait lainnya akan kehilangan biaya peluang/opportunity cost yang mereka dapatkan jika bekerja/beraktivitas di luar rumah. 

“Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memberikan insentif bagi warganya untuk tinggal di rumah. Putaran berikutnya istrumen pemberian bantuan sosial, baik itu berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), sembako, kartu prakerja, hingga program keluarga harapan, atau pun bantuan listrik lainnya harus memiliki nafas yang panjang,” ujar Rifki lebih lanjut. 

Rifki mengatakan bahwa pemberian bantuan sosial harus diperpanjang minimal hingga pertengahan tahun 2021. Sebab, belum dapat dipastikan apakah tahun depan pandemi COVID-19 akan berakhir, meskipun sambil menunggu vaksin yang akan diproduksi massal pada awal tahun 2020. Oleh sebab itu, selama proses tersebut, protokol kesehatan masih harus dijalankan. Akibatnya, ekonomi tidak berada pada posisi full employment. 

“Implikasinya, masih ada 50 persen baik itu pekerja, pelaku bisnis, hingga pelaku terkait lainnya yang kehilangan biaya peluang yang cukup besar. Oleh sebab itu, pemerintah harus tetap memberikan kompensasi kepada mereka,” tutup Rifki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement