Jumat 11 Sep 2020 20:33 WIB

Muka 2 Barat: Abai Islamofobia, Lalu Peduli Muslim Uighur?

Pemerintah Barat dinilai bermuka 2 karena abai Islamofobia.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nashih Nashrullah
Pemerintah Barat dinilai bermuka 2 karena abai Islamofobia.  Ilustrasi Islamofobia Amerika Serikat.
Foto: world bulletin
Pemerintah Barat dinilai bermuka 2 karena abai Islamofobia. Ilustrasi Islamofobia Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Pemerintah Barat, Inggris, dan Amerika Serikat (AS), dianggap mengabaikan Islamofobia institusional mereka sendiri, sementara itu juga secara munafik menentang penganiayaan China terhadap komunitas Muslim Uighur. Hal tersebut diungkapkan, lulusan Sejarah dan Politik Universitas Warwick, Taj Ali.

"Saat kita mendengar tentang penderitaan Muslim Uighur di kamp konsentrasi, kita diingatkan tentang konsekuensi nyata dari retorika Islamofobia. Islamofobia, tentu saja, tidak hanya terjadi di China," kata Ali dilansir dari laman 5pillarsuk, Jumat (11/9).

Baca Juga

"Di seluruh dunia, dari Inggris hingga Burma, AS hingga India, telah terjadi peningkatan signifikan dalam Islamofobia. Sebagai seorang Muslim Inggris dari Luton, saya telah menyaksikan secara langsung, konsekuensi dari histeria berbahaya yang mencambuk komunitas Muslim dari para politisi," lanjut Ali. 

Dia mengungkapkan, organisasi sayap kanan seperti Britain First dan English Defence League telah menjangkiti kota-kota selama bertahun-tahun. Saat para Muslim terus menyaksikan peningkatan kejahatan rasial anti-Muslim di Inggris, politisi mereka tidak melakukan apa-apa untuk menantangnya.  

Memang banyak politisi termasuk Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, telah secara aktif terlibat dalam Islamofobia. Untuk itu, begitu mengejutkan melihat para politisi menyerukan Islamofobia di luar negeri, akan tetapi enggan untuk menantang retorika yang sama di dalam negeri. 

"Upaya untuk menggambarkan penindasan Muslim sebagai sesuatu yang hanya terjadi di luar negeri berusaha untuk membebaskan Inggris dari keterlibatannya sendiri dalam Islamofobia," ucap Ali. 

Baik wanita Muslim yang jilbabnya dirobek dari orang yang lewat di jalan, atau Muslim dicegat dan digeledah secara tidak proporsional, kemudian menjadi sasaran pelecehan melalui program pencegahan Islamofobia, Inggris telah mentolerir pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim selama bertahun-tahun.

photo
Muslim Uighur di Cina - (Dokrep)

Sementara itu, di Amerika Serikat, pemerintahan Trump juga menyoroti kasus Muslim Uighur. Namun, mantan ajudannya, Jon Bolton menuduh bahwa Trump sebelumnya telah memberi lampu hijau kepada Presiden China, Xi Jinping untuk membangun kamp konsentrasi. Pemimpin AS menyatakan itu hal yang tepat untuk dilakukan.

"Ini seharusnya tidak mengejutkan kami, bagaimanapun juga, Trump yang mengusulkan larangan perjalanan Muslim. Apakah kita akan terkejut bahwa seseorang yang me-retweet Britain First dan Katie Hopkins tidak memiliki kepentingan terbaik bagi Muslim?" kata dia.

Di tengah perang perdagangan ekonomi dengan China, begitu jelas bahwa AS dan sekutu Baratnya, baru sekarang mulai menyoroti penganiayaan terhadap Muslim Uighur karena secara politis mereka nyaman untuk melakukannya. 

"Jika kebijakan luar negeri Inggris dimotivasi oleh kepedulian terhadap hak asasi manusia daripada kepentingan ekonomi, mengapa pemerintah kita diam ketika Muslim dianiaya di India?," ucap Ali.

Di bawah pengawasan Modi, Muslim telah menderita hukuman mati tanpa pengadilan, dan kejahatan rasial agama terhadap Muslim telah meningkat. Baru-baru ini, pemerintah Modi mencabut kewarganegaraan dua juta, kebanyakan Muslim India di Assam. Kebijakan semacam itu telah dianggap sebagai tindakan pencabutan hak terbesar dalam sejarah manusia.

Belum lagi, penindasan terhadap penduduk yang sebagian besar Muslim di Kashmir. Di mana orang-orang Kashmir menjadi sasaran hukum yang kejam dan penerapan 'lockdown' semenjak Agustus lalu. Standar ganda berbicara banyak, dan menyoroti bagaimana penderitaan umat Islam hanya dibicarakan ketika itu sesuai dengan agenda geopolitik.

Dia mengungkapkan, Islamofobia, seperti bentuk rasisme lainnya, memanifestasikan dirinya secara terbuka melalui tindakan prasangka individu maupun secara kelembagaan, yang secara tidak proporsional menargetkan komunitas Muslim.

Islamofobia lebih dari sekadar serangan terhadap Muslim, ini merupakan alat politik, yang digunakan untuk mencapai tujuan kebijakan dalam, dan luar negeri dengan mengkambinghitamkan Muslim untuk masalah masyarakat. 

"Banyak dari politisi kita telah berkontribusi pada fenomena yang ingin mereka soroti di tempat lain. Ini hanya menyisakan satu kesimpulan bagi kita, kekhawatiran palsu mereka tentang Muslim Uighur di China lebih dimotivasi sentimen anti-China daripada kekhawatiran yang tulus tentang kesejahteraan Muslim.

Perhatian global pada penindasan terhadap Uighur adalah langkah ke arah yang benar, tetapi politisi dan media kita harus konsisten dalam menentang Islamofobia," papar Ali.

 

Sumber: https://5pillarsuk.com/2020/09/08/sri-lanka-has-locked-up-this-muslim-lawyer-without-charge-for-nearly-five-months/

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement