Sabtu 12 Sep 2020 03:21 WIB

Pemerintah Didorong Lebih Berani Terapkan PSBB

Kebijakan PSBB bisa diperketat dengan membatasi mobilitas penduduk.

Sejumlah kendaraan terjebak macet saat jam pulang kerja di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (11/9). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mewajibkan sebagian besar perkantoran non-esensial untuk melakukan pekerjaan di rumah atau work from home berlaku saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara total pada 14 September 2020 mendatang. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sejumlah kendaraan terjebak macet saat jam pulang kerja di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (11/9). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mewajibkan sebagian besar perkantoran non-esensial untuk melakukan pekerjaan di rumah atau work from home berlaku saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara total pada 14 September 2020 mendatang. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga penelitian Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mendorong pemerintah untuk lebih berani lagi untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara lebih ketat di tengah lonjakan kasus Covid-19. IDEAS paparkan pengetatan PSBB terbukti bisa tekan angka kematian akibat Covid-19.

"Ini yang kami coba rekomendasikan kepada pemerintah agar lebih berani untuk menarik rem darurat yang saat ini baru diterapkan di Jakarta sama Banten," kata peneliti IDEAS Fajri Azhari dalam diskusi virtual bertema New Normal dan Emergency Brake Policy, Jakarta, Jumat (11/9).

Baca Juga

Fajri mengatakan dorongan itu disampaikan mengingat kasus Covid-19 yang terus melonjak drastis dan masih tingginya risiko penularan di tengah masyarakat. Ia mengingatkan bahwa berdasarkan runutan jumlah kematian harian akibat Covid-19, tingkat kematian karena wabah tersebut terus meningkat seiring dengan pelonggaran terhadap kebijakan PSBB untuk memulihkan kegiatan ekonomi.

Angka kematian harian selama PSBB, yang tercatat pertama kali pada awal pandemi, kata dia, rata-rata ada 26 kasus. Kemudian pada saat penerapan new normal atau pada masa PSBB transisi tingkat kematian bertambah seiring dengan penambahan kasus positif sebelumnya, yaitu dari 26 kasus bertambah menjadi 49 kasus per hari, lalu naik lagi menjadi 73 kasus dan terakhir bertambah menjadi sekitar 80 kasus kematian.

"Artinya di sini sebetulnya ketika pemerintah mengambil keputusan untuk new normal, maka itu merupakan sebuah pertaruhan besar terkait dengan keselamatan nyawa warga Indonesia. Di mana sebenarnya menurut panduan kesehatan WHO, salah satu syarat utama yang harus dipenuhi suatu negara untuk menerapkan new normal itu adalah dapat mengendalikan pandemi dengan dibuktikan secara ilmiah bahwa penyebaran atau laju pertumbuhan Covid-19 bisa turun atau bahkan tidak ada local transmission sama sekali, seperti Thailand dan Vietnam atau Taiwan. Itu mereka benar-benar new normal yang terstandar oleh WHO. Kalau Indonesia new normal yang belum memenuhi standar WHO," katanya.

Untuk itu, ia menekankan bahwa semakin tinggi tingkat risiko dan semakin buruk situasi kasus Covid-19 di suatu daerah, maka seharusnya pembatasan sosial yang diterapkan juga harus semakin ketat.

Oleh karena itu, IDEAS mendorong pemerintah untuk lebih memperketat kebijakan PSBB dengan membatasi mobilitas penduduk yang dilakukan aparat tingkat RT dan RW. Kemudian, pemerintah juga didorong untuk lebih memperketat restriksi perjalanan internasional yang non-esensial mengingat kemunculan kasus Covid-19 dimulai dari kasus impor dari luar negeri.

"Kemudian, seandainya suatu daerah menemukan kasus secara sporadis, yaitu kasus yang muncul secara random di daerahnya, maka perlu ada peringatan yang dilakukan negara tersebut dengan skala kelurahan atau desa," demikian kata Fajri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement