Jumat 11 Sep 2020 19:40 WIB

Eks Marinir Muslim Amerika Serikat: AS Nihil tanpa Islam

Eks Marinir Muslim Amerika Serikat menyatakan loyalitas mereka ke negara.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Eks Marinir Muslim Amerika Serikat menyatakan loyalitas mereka ke negara. Ilustrasi tentara Marinir Amerika Serikat.
Foto: Antara
Eks Marinir Muslim Amerika Serikat menyatakan loyalitas mereka ke negara. Ilustrasi tentara Marinir Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Insiden 11 September merupakan angka bersejarah bagi Mansoor T. Shams, seorang veteran Marinir Amerika Serikat Muslim, sekaligus pendiri MuslimMarine.org, dan hampir seluruh warga Amerika lainnya. Tepat hari ini, 19 tahun lalu, Twin Towers menjadi salah satu sasaran dari serangan bunuh diri yang dilakukan Al-Qaeda.

"Setahun sebelum kejadian itu terjadi, saya telah membuat salah satu keputusan terberat yang dapat dibuat setiap pemuda Amerika berusia 18 tahun, saya mengangkat tangan untuk "mendukung dan membela Konstitusi Amerika Serikat melawan semua musuh asing dan domestik dan menjadi seorang marinir Amerika Serikat," tulisnya yang dikutip di CNN, Jumat (11/9).

Baca Juga

Dalam artikelnya, Shams menuliskan detail perasaan yang dialaminya ketika menyaksikan langsung ledakan yang meluluhlantakkan Twin Towers 11 September 2001. Kengerian, bingung dan frustasi bercampur menjadi satu kali cuplikan hancurnya Twin Towers mulai bergulir, tulisnya. 

"Tak satupun dari kami, Marinir, yang tahu apa yang sedang terjadi. Tapi saat menit dan jam terus berlalu, kepemimpinan dasar kami di Camp Johnson di North Carolina memutuskan untuk beralih ke mode kuncian. Semua jalan masuk yang tidak penting ke pangkalan dihentikan. Tidak ada Marinir yang bisa meninggalkan pangkalan juga. Saya baru berada di Korps Marinir selama setahun, dan saya belum pernah menyaksikan yang seperti ini," ujarnya.

Seiring berlalunya waktu, penemuan bukti pelaku serangan mulai terkuak, yang diduga berasal dari Afghanistan, negara yang berbatasan langsung dengan Pakistan, negara tempat Shams dilahirkan.

"Fakta itu sangat menyayat hati saya. Jauh di lubuk hati saya mulai bertanya-tanya mengapa harus orang-orang yang saya bagikan warisan, dan, lebih buruk, iman yang sama. Mengapa bukan orang lain? Mengapa tidak beberapa kelompok lain? Mengapa teroris harus orang-orang yang mengaku mengikuti Islam saya yang indah?" sambungnya.

Meskipun Korps Marinir adalah jenis persaudaraan unik yang membanggakan nilai-nilai inti tertentu seperti kehormatan, keberanian, dan komitmen, sejak saat itu Shams mulai mengalami diskriminasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

"Saya pernah mendengar cerita tentang diskriminasi yang terjadi di sipil Amerika, tetapi di Marinir? Saya tidak akan membayangkan itu terjadi di antara kelompok yang dalam banyak hal telah menjadi saudara saya," tulisnya menambahkan.

Salah satu kejadian yang masih jelas dalam ingatannya, ketika dia mendapatkan tatapan janggal dari kawan sesama marinir. Beberapa dari mereka juga mengungkapkan candaan yang menyinggung Taliban, teroris, dan Osama bin Laden.

"Pada awalnya, saya akan mencoba mengabaikannya atau hanya menertawakannya, tetapi seiring berjalannya waktu, saya bisa merasakan hal-hal mulai memengaruhi saya. Saya mengajukan keluhan kepada kepemimpinan saya, tetapi mereka tidak berbuat banyak untuk campur tangan," keluhnya.

Dia juga mengatakan sangat mengingat penolakan yang diterimanya ketika mengajukan penundaan tes kebugaran fisik yang terdiri dari lari berjangka waktu tiga mil, pull up, dan crunch maksimum dalam dua menit hingga akhir Ramadhan. Meski angkatan bersenjata merupakan lembaga yang ketat, namun Shams merasa penolakan tersebut adalah bagian dari tindakan diskriminasi. "Untungnya, saya berhasil lulus tes kebugaran jasmani saya tanpa pingsan," tambahnya.

Mengalami ketidakadilan dan marginalisasi membuat usahanya untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup Korps Marinir menjadi semakin berat. Meski begitu, beberapa bulan kemudian, Shams berhasil mendapatkan promosi sebagai Kopral dan mengantongi penghargaan Marine of the Quarter.

"Saya harus mengakui, rasisme dan kefanatikan juga ada di dalam angkatan bersenjata karena semua kekacauan sedang terjadi, tapi entah bagaimana saya masih bisa tetap setia pada siapa saya dan sumpah yang saya ambil sebagai seorang Marinir Amerika Serikat," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement