Sabtu 12 Sep 2020 02:16 WIB

6 Bulan Pandemi, Mengapa Orang tak Lagi Cek Angka Kematian?

Respons masyarakat terhadap angka kematian harian Covid-19 tak lagi sama saat ini.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Reiny Dwinanda
Foto aerial makam Covid-19 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Rabu (9/9). Satgas Penanganan COVID-19 menyatakan adanya peningkatan jumlah kasus kematian pasien Covid-19 di Indonesia dalam sepekan terakhir sebesar 24,4 persen.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Foto aerial makam Covid-19 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Rabu (9/9). Satgas Penanganan COVID-19 menyatakan adanya peningkatan jumlah kasus kematian pasien Covid-19 di Indonesia dalam sepekan terakhir sebesar 24,4 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada awal pandemi Covid-19, orang cenderung mencari tahu jumlah kematian akibat virus corona setiap hari. Namun, setelah pandemi berjalan selama lebih dari setengah tahun, masyarakat mulai menghindari untuk mengecek data tersebut secara berkala.

"Mengecek angka kematian sempat menjadi semacam ritual di penghujung hari, tapi belakangan saya tidak mengecek setiap hari lagi. Mungkin cuma setiap 10 hari atau bahkan setiap 14 hari," kata Michael Mazius PhD, seorang psikolog perilaku yang berbasis di Wisconsin, Amerika Serikat, dilansir Today, Jumat (11/9).

Baca Juga

Mazius sangat percaya pada manfaat kesehatan mental dari mengakhiri hari dengan ritual positif dan bukan ritual yang suram. Itu sekaligus menjelaskan sebagian alasan yang membuatnya berhenti memeriksa jumlah korban jiwa Covid-19 pada malam hari. Tetapi, hal ini tidak menjelaskan mengapa dia semakin jarang memeriksanya.

Apa penyebabnya? Jawabannya kemungkinan bergantung pada fakta bahwa pandemi Covid-19 telah berlangsung selama hampir setengah tahun sekarang. Masyarakat sudah terbiasa dengan kematian massal sampai ke titik habituasi dan bahkan desensitisasi (mengurangi, menghambat, atau menghilangkan respons kecemasan), atau dengan kata lain menjadi kurang peka.

Masyarakat telah menyesuaikan dengan fakta kematian massal, untuk bertahan hidup. Mazius menjelaskan, otak manusia secara alami menyesuaikan dengan keadaan baru saat menjadi kronis. Manusia memiliki cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan pandemi, bahkan dengan hal-hal yang menakutkan.

"Jadi sebagai fungsi untuk bergerak maju, kita mungkin menjadi kurang peka terhadap meningkatnya jumlah kematian." kata Mazius.

Diana Concannon PsyD, psikolog berlisensi dan dekan California School of Forensic Studies mengatakan, fenomena menjadi kurang peka terhadap trauma yang sedang berlangsung, seperti korban jiwa, didokumentasikan dengan baik dalam psikologi bencana. Menurut Concannon, ancaman musuh selama masa perang, perubahan iklim dan banyak akibatnya, atau virus yang tak henti-hentinya, membuat masyarakat menjadi terbiasa dengan efeknya.

"Ini adalah mekanisme bertahan hidup, cara otak kita beradaptasi dengan serangan gencar, betapapun mengerikannya, itu konstan dan gigih.  Itu memungkinkan kita untuk terus berfungsi di tengah kesulitan," kata Concannon.

Alicia Walf PhD, ahli saraf dan dosen senior di Departemen Ilmu Kognitif di Rensselaer Polytechnic University di Troy, New York, menekankan bahwa desensitisasi di tengah trauma yang sedang berlangsung adalah alami dan adaptif. Walf mengatakan, hal itu membantu masyarakat secara emosional  mengatur dirinya sendiri dalam situasi traumatis kronis.

"Kita tidak dapat meningkatkan stres dan respons emosional yang sama seperti yang kita lakukan pada awal pandemi," kata Walf.

Selain itu, otak manusia tidak menghitung tragedi massal seperti halnya tragedi dalam skala yang lebih kecil.

"Kita lebih mudah merasakan empati untuk satu orang daripada untuk sekelompok besar orang,” kata Concannon.

Menurut Concannon, penelitian telah berulang kali menunjukkan bahwa manusia menjadi tidak peka karena jumlah individu yang terpengaruh oleh peristiwa tertentu meningkat (dan) tidak memproses jumlah korban yang besar seperti halnya merespons kejadian dengan lingkup yang lebih kecil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement