Jumat 11 Sep 2020 13:31 WIB

Hasil Prompt Release Bisa untuk Kesejahteraan Masyarakat

Aturan prompt release berpeluang untuk tidak menambah kerugian Indonesia.

Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS (kiri)
Foto: Dok KKP
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Praktik Illegal, Unreported and Unregulated (IIU) Fishing  yang banyak terjadi di perairan Indonesia, sangat merugikan. “Kerugian IIU Fishing bagi Indonesia menyangkut kerugian ekonomi, dampak politik, dampak sosial, dan dampak lingkungan,” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB,  Prof Dr  Ir  Rokhmin Dahuri MS.

Ia mengemukakan hal tersebut pada Focus Group Discussion “Penerapan Ketentuan Pelepasan Segera (Prompt Release) Kapal dan Awak Kapal Pelaku Illegal Fishing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia” yang digelar di Grand Hyatt Hotel Yogyakarta, Kamis (10/9).

Karena itu, terhadap kegiatan penangkapan ikan secara tidak sah (IIU Fishing) tersebut perlu dilakukan penegakan hukum.

Penegakan hukum terhadap IUU Fishing  diatur dalam UNCLOS 1982.  Penegakan hukum itu mencakup di  laut teritorial dan laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Dalam hal ini  ada yang disebut dengan prompt release (pelepasan seketika).

Prompt release merupakan kewajiban pelepasan seketika terhadap kapal ikan asing dan seluruh awaknya yang melakukan IUU fishing di wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) setelah menyerahkan uang jaminan yang layak (Reasonable Bond), sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (2) UNCLOS 1982 dan diadopsi dalam Pasal 104 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 

“Namun, dalam prakteknya sampai dengan saat ini Indonesia belum pernah melaksanakan mekanisme pelepasan seketika (prompt release), karena terdapat keragu-raguan dan perbedaan penafsiran tentang pelaksanaan mekanismenya,” kata Prof Rokhmin dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Ia menambahkan, aturan prompt release berpeluang untuk tidak menambah kerugian Indonesia karena harus menanggung biaya hidup pelaku pelanggaran saat penahanan dan dapat meminimalisir kerugian IUU fishing dengan adanya reasonable bond. 

“Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)  berwenang menentukan reasonable bond jika pemilik kapal mengajukan permohonan pelepasan terhadap kapal miliknya,” ujarnya.

Ia juga menyebutkan, penetapan reasonable bond harus secara layak dengan tidak: (1) menilai harga kapal yang ditahan terlalu tinggi; (2) denda bagi nakhoda/pemilik kapal terlalu tinggi; dan (3) memasukan komponen yang tidak bersifat finansial.

Rokhmin mengatakan, hasil prompt release bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikananIndonesia.  “Dengan banyaknya jumlah Kapal Ikan Asing (KIA) yang melakukan IUU fishing dan tertangkap di wilayah ZEEI (lebih dari 50 KIA per tahun), terutama KIA asal Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand, Indonesia berpotensi memperoleh uang jaminan yang layak (Reasonable Bond) dari negara-negara tersebut,” ujar ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu. 

Ia menambahkan, besaran reasonable bond yang ditetapkan harus memperhitungkan: (1) nilai jual ikan hasil IUU fishing; (2) nilai harga kapal; (3) nilai bahan bakar dan pelumas; (4) nilai peralatan penangkap ikan; serta (5) denda bagi nakhoda/pemilik. 

“Uang hasil dari bond dapat dianggap sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari sektor KP, yang 50 persen dapat digunakan langsung untuk peningkatan kesejahteraan nelayan (kapal, alat tangkap, dan DIKLATLUH) dan kesejahteraan aparat penegak hokum,” papar koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024  itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement