Rabu 09 Sep 2020 20:46 WIB

Haji Masjid

Syeikh Ibrahim menawarkan pada saya untuk berhaji atas undangan Kerajaan Arab Saudi.

Masjid Kampus Arif Rahman Hakim Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta.
Foto: Telukmasjid.com
Masjid Kampus Arif Rahman Hakim Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menunaikan ibadah haji itu adalah panggilan langsung dari Allah SWT. Betapa pun seseorang memiliki kemampuan harta dan fisik untuk menjalaninya, namun jika belum mendapat panggilan dari Sang Maha Kuasa, ada saja rintangan yang menghalangi seseorang untuk menjalankan rukun Islam kelima itu.

Inilah yang dialami rektor Universitas Indonesia kala itu, Gumilar Rusliwa Somantri. Dua kali mendaftar sebagai calon jamaah haji Indonesia, dua kali pula mantan dekan Fisip UI ini gagal berangkat ke Tanah Suci.Akan tetapi, siapa yang menyangka, di tengah kepasrahan dan keinginan yang mendalam untuk berhaji, Gumilar mendapat 'jalan panggilan' justru saat melakukan pembangunan Masjid At-Tauhid Arif Rahman Hakim di kampus UI Salemba.

"Itu pun waktunya ibarat sudah injury time, karena kurang dari sebulan sebelum Hari Raya Idul Adha," ujar Gumilar kepada Republika.

Gumilar yang saat ini masih berada di Makkah, menceritakan, 'tiket' haji yang diperolehnya bermula saat Kerajaan Arab Saudi memberikan bantuan sebesar Rp 5 miliar lebih untuk pembangunan kembali Masjid At Tauhid Arif Rahman Hakim. Saat itu bantuan diserahkan langsung oleh Atase Agama Kedutaan Besar Arab Saudi, Ibrahim bin Sulaiman An Nughaimsyie, di Gedung Pusat Administrasi Universitas (PAU) UI.

Diundang kerajaan

Sewaktu memberikan bantuan pembangunan masjid, pria kelahiran Tasikmalaya 11 Maret 1963 ini sempat ditanya oleh Syeikh Ibrahim apakah dia sudah naik haji atau belum. "Begitu saya jawab belum, Syeikh Ibrahim menawarkan saya untuk berhaji tahun ini dengan undangan khusus Raja Abdullah bin Abdul Aziz," ungkapnya.

Tawaran itu pun disambut Gumilar dengan suka-cita terlebih undangan dari pemerintah Arab Saudi juga diberikan kepada sang istri tercinta, Nenden Wasita Kusumah. Gumilar merasa, jalan menuju Ka'bah yang diperoleh dia dan sang istri diberikan oleh Allah SWT karena turut serta secara aktif mencari dukungan dana untuk membangun masjid di kampus UI.

Ayah tiga anak ini menceritakan, jika saja tidak ada pembangunan masjid UI, Gumilar mungkin masih harus menunggu dua atau tiga tahun lagi sebelum mendapat nomor antrean dalam kuota haji Indonesia.

Pada musim haji 2002 silam, Gumilar sebenarnya sudah mendaftarkan sebagai calon haji dan mendapatkan nomor. Namun Gumilar terpaksa menunda keberangkatannya karena bertepatan dengan hari wisuda mahasiswa Fisip UI yang saat itu baru tahun pertama dinakhodainya. "Saya selaku dekan baru saat itu mau tidak mau harus mengalah dan ikut prosesi wisuda mahasiswa Fisip."

Sibuk dengan berbagai aktivitas sebagai dekan termasuk menjadi anggota Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta, Gumilar tak kehilangan keinginan untuk pergi berhaji. Barulah pada musim haji tahun ini dia dan istri mendaftarkan diri menjadi calon jamaah haji Indonesia. "Tapi lagi-lagi gagal berangkat karena kehabisan kuota."

Dua kali gagal terbang menuju Ka'bah, Gumilar 'membuka gerbang panggilan Allah SWT' dengan menunaikan ibadah umrah pada awal tahun 2007. Kesempatan berada di hadapan Ka'bah tak disia-siakan Gumilar untuk memohon diberi kekuatan dan keikhlasan untuk kembali ke Tanah Suci dengan status jamaah haji.

Dia pun bertekad akan memanjatkan doa bagi keselamatan dan kesejahteraan bangsa, kemajuan pendidikan dan UI yang menjadi almamaternya, serta kebahagiaan keluarganya bila diperkenankan bermunajat di hadapan Ka'bah dengan status haji.

"Alhamdulillah, tahun ini saya berkesempatan menyampaikan semua doa itu di depan Ka'bah. Saya bersyukur kepada Allah SWT dan berterima kasih atas undangan Raja Abdullah bin Abdul Azis yang memudahkan jalan saya berhaji," ucap Gumilar.

Dia berharap, ibadah haji yang telah ditunaikan mampu membuat dirinya dan keluarga semakin bisa membaktikan diri menjadi hamba Allah SWT yang mendedikasikan segala potensi yang ada untuk kemajuan bangsa.

Kehalusan budi, keikhlasan, kesabaran, dan semangat kepatuhan terhadap segala perintah Allah SWT pun sudah menjadi azzam bagi guru besar Fisip UI ini setelah pulang berhaji dan menjejakkan langkahnya kembali ke Tanah Air. "Saya semakin merasa sebagai manusia kita sejatinya sangat kecil dan tidak memiliki arti kecuali bisa memberi manfaat bagi orang lain," tandas Gumilar. 

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Senin, 24 Desember 2007

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement