Rabu 09 Sep 2020 22:15 WIB

Jejak Ulama Nusantara di Mesir (2-Habis)

Sejarah mencatat para santri itu juga dipercaya mengajar agama di Mesir.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Muhammad Hafil
Jejak Ulama Nusantara di Mesir . Foto: Universitas Al Azhar Mesir
Foto: google.com
Jejak Ulama Nusantara di Mesir . Foto: Universitas Al Azhar Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pada awal 1990-an, mahasiswa asal nusantara yang berminat belajar di al-Azhar terus berdatangan. Mereka berasal dari Riau, Lampung, Padang, Banten, dan Sambas. Jika pada awal abad ke-19 mahasiswa Nusantara berasal dari Jawa, pada fase selanjutnya mereka yang belajar di al-Azhar adalah orang-orang dari luar Jawa.

Sosok yang dicatat dalam sejarah pernah belajar di al-Azhar pada masa reformasi keagamaan, yaitu Muhammad Basyuni bersama adik dan temannya. Ia dijemput langsung oleh Rasyid Ridha. Setelah itu, sosok penting yang belajar di al-Azhar, yaitu Mas Mansur.

Ia merupakan sosok yang penting pada masa prakemerdekaan dan pernah menjadi ketua umum PP Muhammadiyah pada masa bakti 1937-1941 M.

Mas Mansur adalah seorang mahasiswa yang banyak belajar tentang bagaimana membangunkan spirit nasionalisme. Selama belajar di al-Azhar ia melihat dengan langsung kegairahan para ulama al-Azhar dalam membangkitkan api revolusi.

 

Agen-Agen Perubahan di Indonesia

Para mahasiswa yang sukses belajar di Mesir, menjadi agen-agen perubahan di Tanah Air. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini. Syekh Abdul Karim Amrullah, yang merupakan pendiri sekaligus guru Sumatra Thawalib Padang Panjang, dianugerahi gelar doktor honoris causa oleh Universitas al-Azhar, Kairo, pada 1926.

Kelak, 35 tahun kemudian anak kandungnya, yakni Buya Hamka, memeroleh gelar kehormatan tersebut dari perguruan tinggi yang sama. Pada 1957, Syaikhah Rahmah el-Yunusiah menjadi perempuan pertama yang mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar.

Sosok pejuang itu merupakan pendiri Sekolah Diniyah Putri Padang Panjang. Dalam sebuah tulisannya, penyair Taufiq Ismail menjelaskan, Rektor Universitas al-Azhar saat itu, Dr Syekh Abdurrahman Taj, mengunjungi Diniyah Putri Padang Panjang pada 1955.

Ia pun terkagum-kagum dengan inovasi pendidikan yang dihadirkan tokoh Minangkabau tersebut terhadap kaum perempuan setempat. Sepulangnya dari Sumatra, tulis Taufiq Ismail, sang rektor kemudian mengadopsi sistem pendidikan Diniyah Putri untuk diterapkan di kampusnya, yang pada waktu itu belum memiliki pendidikan khusus kaum hawa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement