Rabu 09 Sep 2020 19:56 WIB

IUU Fishing Rugikan Indonesia Rp 45 Triliun Per Tahun

Laut Natuna Utara merupakan wilayah paling rawan IUU fishing oleh kapal ikan asing.

Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KK) menggelar Rapat Konsolidasi Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Laut, Rabu (9/9).
Foto: Dok KKP
Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KK) menggelar Rapat Konsolidasi Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Laut, Rabu (9/9).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) fishing atau kegiatan perikanan yang tidak sah menyebabkan kerugian ekonomi yang besar buat Indonesia maupun dunia. “Kegiatan IUU fishing menyebabkan kerugian ekonomi bagi Indonesia rata-rata 1 juta ton ikan, sekira 3 miliar  dolar AS (Rp 45 triliun)  per tahun, sedangkan secara keseluruhan dunia mencapai sekira 10-23 miliar dolar AS per tahun,” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB, Prof  Dr  Ir Rokhmin Dahuri, MS.

Ia mengungkapkan hal tersebut pada Rapat Konsolidasi Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Laut, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan di Yogyakarta, Rabu (9/9).

Ia menambahkan, kerugian lainnya akibat IUU fishing adalah  mengancam kelestarian sumber daya ikan (SDI)  dan ekosistem perairan, dan memperkecil peluang nelayan Indonesia mendapatkan ikan hasil tangkapan. “Selain itu, IUU fisihing tersebut memfasilitasi tindakan kriminal dan ilegal lain (seperti narkoba, illegal trading, dan penyelundupan), serta  merongrong kedaulatan (sovereignty) wilayah laut dan hak berdaulat (jurisdiction) NKRI,” ujar Prof Rokhmin seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Prof Rokhmin menyebutkan,  Laut Natuna Utara merupakan wilayah paling rawan IUU fishing oleh KIA (Kapal Ikan Asing). “Dua negara asal KIA yang banyak melakukan pelanggaran di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711  (Laut Natuna Utara), yaitu KIA Tiongkok dan KIA Vietnam,” tuturnya.

photo
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri, MS.  (Dok KKP)

Menurut ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu perlu strategi mengatasi IUU fishng  secara efektif dan tuntas. Pertama, perbaikan dan pengembangan sistem MCS (Monitoring, Controlling, and Surveillance) secara terintegrasi, akurat, dan real time berbasis Big Data yang dikombinasikan dengan aplikasi drone, radar, satelit, blockchain, IoT, dan AI.

“Sehingga, setiap saat (real time) kita mampu memantau dan mendeteksi pelanggaran pencurian ikan oleh KIA atau Kapak Ikan Indonesia (KII)  di wilayah laut NKRI.  Kemudian, seketika itu (real time) informasi adanya pelanggaran pencurian ikan  itu bisa secara digital dikirim ke kapal dan pesawat pengawas Ditjen PSDKP, BAKAMLA, TNI-AL, atau Polairud untuk mencegah atau menindak KIA atau KII yang akan atau sedang melakukan kegitan IUU fishing atau kejahatan non-perikanan,” ujar koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024 

Kedua, kapal dan pesawat pengawas Ditjen PSDKP, BAKAMLA, TNI-AL, atau Polairud harus difokuskan dan standby di  enam wilayah laut NKRI yang rawan pencurian ikan  oleh KIA, terutama pada musim banyak ikan (peak seasons).

Ketiga, tingkatkan pemanfaatan SDI di wilayah-wilayah laut NKRI yang selama ini jadi ajang pencurian ikan (IUU fishing) oleh KIA, dengan memperbanyak KII modern (ukuran > 50 GT dengan alat tangkap modern sesuai dengan ikan target dan kondisi oseanografi dan klimatologi setempat) sampai tingkat pemanfaatannya 80 persen MSY atau sama dengan MSY. 

“KII wajib dimiliki dan dioperasikan oleh pengusaha dan nelayan RI. Setiap 50 KII yang beroperasi dikawal oleh minimal satu Kapal Pengawas RI,” tegas ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Keempat, nelayan Indonesia dan KII harus melaksanakan Responsible Fisheries Guidelines (FAO, 1995) dan Best Handling Practices terhadap ikan hasil tangkapan supaya pada sampai di darat kualitas ikannya tetap baik (top quality).

Kelima, KIA yang melakukan IUU fishing dan berhasil ditangkap oleh kapal pengawas RI harus segera diadili selesai paling lambat sebulan, ABK asing segera dipulangkan dengan biaya oleh pemilik KIA.  “Jika, terbukti bersalah, maka KIA disita untuk negara, dan MKP dapat menghibahkan kepada nelayan RI, untuk kapal penelitian, atau ditenggelamkan,” ujarnya. 

Keenam, peningkatan kerjasama sinergis antara Ditjen. PSDKP, BAKAMLA, POLAIRUD, TNI-AL, dan intansi penegak hukum lainnya untuk bersama menumpas IUU fishing hingga ke akarnya.

Ketujuh, penguatan dan pengembangan POKWASMAS oleh Ditjen. PSDKP untuk melakukan MCS.

Kedelapan, peningkatan kerja sama regional dan internasional untuk secara kolaboratif menumpas IUU fishing sampai tuntas.

Kesembilan, peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum dan pemberian penghargaan (reward) kepada instansi dan aparat pengawasan dan penegak hukum di laut.

"Kesepuluh, peningkatan anggaran PSDKP untuk memenuhi kesembilan program di atas," papar Prof Rokhmin Dahuri. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement