Senin 07 Sep 2020 06:51 WIB

Masa Depan WTO: Di Antara Hegemoni AS dan Perang Proteksi

Ketegangan internasional yang meningkat membuat pemilihan ketua WTO rumit.

WTO
Foto: flickr
WTO

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

Pimpinan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) Roberto Azevedo, resmi mengundurkan diri pada 31 Agustus 2020 lalu. Dikabarkan Azevedo melepas jabatannya di WTO karena menerima pinangan dari PepsiCo, produsen minuman ringan asal Amerika Serikat (AS).

Hingga kini WTO belum berhasil memilih ketua baru, yang biasanya ditetapkan berdasarkan konsensus. Padahal WTO sedang menghadapi krisis terbesar dalam 25 tahun sejarahnya. Peran WTO melemah seiring meningkatnya sengketa perdagangan serta proteksionisme dagang selama pandemi Covid-19.

Dalam sengketa dagang antara AS dan China, WTO tak bisa banyak berperan karena semua upaya penengahan yang dilakukan lembaga ini diblokir oleh Washington dan Beijing. Washington bahkan sekarang mengancam akan keluar dari WTO, kalau wakilnya tidak menjadi pimpinan.

Saat ini ada delapan nama yang disebut-sebut mencalonkan diri sebagai pengganti Roberto Azevedo. Delapan kandidat tersebut berasal dari Mesir, Kenya, Meksiko, Moldova, Nigeria, Korea Selatan, Arab Saudi dan Inggris. Dua negara terakhir ikut dalam pencalonan ketua WTO pada detik-detik terakhir pendaftaran ditutup 8 Juli 2020 lalu.

Kedelapan kandidat tersebut adalah Menteri Perdagangan Korea Selatan Yoo Myung-hee, mantan menteri luar negeri Kenya Amina Mohamed, mantan wakil direktur umum WTO di Meksiko Jesus Seade Kuri, mantan menteri luar negeri dan keuangan Nigeria Ngozi Okonjo-Iweala.

Kemudian mantan diplomat Mesir Hamid Mamdouh, mantan menteri luar negeri Moldova Tudor Ulianovschi; mantan menteri ekonomi dan bankir Mohammad Maziad Al-Tuwaijri serta mantan Sekretaris Perdagangan Internasional dan pemrakarsa Brexit Liam Fox.

WTO dijadwalkan akan memulai tiga putaran konsultasi bulan ini, di mana semua negara anggota secara rahasia menyuarakan preferensi mereka terhadap para calon. Proses tersebut biasanya akan berakhir dengan penetapan ketua baru berdasarkan konsensus.

Tetapi ketegangan internasional yang meningkat membuat pemilihan itu jadi tidak tentu. Negara anggota bulan lalu gagal memilih seorang pejabat pelaksana Direktur Jenderal dari antara empat wakil direktur.

Uni Eropa dan AS memperebutkan posisi pejabat pelaksana WTO ini. Uni Eropa mencalonkan Karl Brauner dari Jerman, tetapi Amerika Serikat mengajukan wakilnya, Alan Wolff.

Para pengamat menilai, pemilihan pimpinan WTO baru akan lancar setelah 20 Januari 2021, ketika presiden AS berikutnya sudah dilantik. Banyak pihak mengatakan, proses pemilihan Dirjen WTO tidak pernah begitu dipolitisasi seperti saat ini.

WTO pun disarankan untuk meninggalkan tradisi pengambilan keputusan lewat konsensus, yang selama ini dipegang, dan digantikan dengan metode pemungutan suara.

Tahun 1999, anggota WTO juga pernah gagal mencapai konsensus untuk memilih Direktur Jederal baru dengan suara bulat. Akhirnya dua calon utama diberi jabatan bergilir, masing-masing untuk tiga tahun.

Bagaimanapun AS ingin meningkatkan kekuasaannya di lembaga sengketa dagang internasional ini. Kekuasaan ini dibutuhkan AS karena konflik dagang dengan China masih akan terus berlanjut.

Terlebih lagi Presiden AS Donald Trump pernah mengatakan WTO selaku perantara perjanjian dagang pertama AS telah gagal mencegah China bertanggung jawab atas praktik perdagangan yang tidak adil. Dia juga menilai, sistem tarif WTO juga tak adil bagi AS.

Tak hanya konflik perdagangan antara AS dan China yang tak kunjung kelar. Pimpinan baru WTO juga akan menghadapi perang kebijakan proteksi dagang yang kini diterapkan oleh negara-negra anggotanya pada masa pandemi Covid-19. WTO mencatat terdapat 196 kebijakan perdagangan khusus yang diterapkan oleh negara-negara anggotanya saat ini.

Sejak awal wabah Covid-19 menyebarluas secara global, WTO mencatat sebanyak 80 negara dan wilayah pabean telah melarang atau membatasi ekspor masker wajah, alat pelindung, sarung tangan serta barang-barang lainnya. Hal itu dilakukan guna mengantisipasi kekurangan internal dalam menghadapi wabah Covid-19.

WTO pada umumnya melarang tindakan pembatasan atau pelarangan ekspor. Pengecualian dimungkinkan untuk mencegah atau mengurangi bahan pangan atau produk lainnya yang penting bagi pihak pengekspor.

Namun untuk jangka panjang, kebijakan proteksi dagang ini dapat mengubah rantai pasokan dan tarif tambahan serta hambatan non-tarif dapat muncul sebagai reaksi.

Peran WTO di masa depan tentunya akan diuji oleh kepentingan AS dan China serta pandemi Covid-19.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement