Ahad 06 Sep 2020 18:51 WIB

Mumpung Masih Ada Waktu

Mari kita berbenah mumpung masih ada waktu. Sebagai insan hukum, pilih jalan mana.

M Yusuf (tengah). Sekarang terpulang kepada kita sebagai insan yang berkecimpung di bidang hukum akan memilih jalan mana? Mari kita berbenah mumpung masih ada waktu
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
M Yusuf (tengah). Sekarang terpulang kepada kita sebagai insan yang berkecimpung di bidang hukum akan memilih jalan mana? Mari kita berbenah mumpung masih ada waktu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Yusuf, Inspektur Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan

Merekayasa pasal, buang barang buktinya dan macam-macam karena hukum bisa diindustrikan, begitulah ujar Menko Polhukam saat menjadi pembicara kunci peluncuran 28 buku di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2 September 2020 lalu.

Sebagai praktisi yang sudah berkecimpung puluhan tahun menangani perkara, baik sebagai penyidik, jaksa peneliti, jaksa penuntut umum, jaksa yang melakukan eksekusi maupun Kepala Kejaksaan Negeri, penulis tidak tahu secara pasti di mana, kapan, dan berapa banyak kejadian seperti yang diucapkan Menko Polhukam tersebut.

Namun saya juga percaya seorang Menko Polhukam yang menaungi petinggi penegak hukum di Indonesia tentu tidaklah mungkin berbicara serampangan atau menyampaikan sesuatu yang bersifat bualan ataupun khayalan semata.

Namun demikian, jika kita lihat dari tingkat kepuasan masyarakat dan efektivitas penegakan hukum pada umumnya, memang masih dirasakan masih banyak kekurangan. Mulai dari tidak ditemukannya tersangka, lamanya penyidikan dengan alasan karena kesulitan mencari bukti, pengenaan pasal yang disangkakan tidak menuju kepada sanksi yang memadai, tuntutan hukuman yang dirasakan terlalu ringan, dan banyaknya kasus yang belum terungkap. Kalaupun terungkap tidaklah menyusur kepada semua pihak yang terindikasi terlibat.

Jika kita merujuk kepada pendapat Lawrence Meir Friedman terdapat 4 (empat elemen) utama dalam sistem hukum, yaitu legal substance, legal structure, legal culture, dan legal impact. Dari empat elemen tersebut, tiga elemen yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum, yakni legal substance, legal structure, dan legal culture

Terwujud atau tidaknya legal substance dan legal culture sesungguhnya bergantung pada sang pembuat undang-undang dan pelaksananya (para penegak hukum), sehingga menurut penulis masalah fundamentalnya berada pada aspek manusianya (The man behind the gun).

Disamping manusianya, permasalahan tersebut diperparah oleh kondisi perundang-undangan kita yang merupakan produk politik, bukan produk hukum. Buktinya yang membuat undang-undang adalah pemerintah (yang saat pemilu diusung oleh partai politik) bersama DPR yang merupakan wadah berkumpulnya para politisi. Oleh karena UU itu produk politik, maka pada akhirnya yang dikedepankan bukan lagi cita hukum (law as an state ideology), tapi berubah menjadi law as a tool to achieve the interest of the political party.

Berbeda dengan hukum agama yang lahir karena aturan yang tertuang dalam Kitab Suci dan penjabarannya melalui Rasulullah sang utusan atau hukum adat yang lahir dari nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat adat tersebut.

Lantas apa yang harus kita perbuat? Sebagai insan penegak hukum (khususnya pimpinan tertingginya yang bisa memberikan perintah atau arahan kepada bawahannya) harus memahami secara komprehensif tentang filosofi, asas, tujuan, dan manfaat dari dibuat serta lahirnya hukum tersebut agar saat diterapkan akan membuat masyarakat merasa terwakili kepentingan dan harapannya: terciptanya kepastian hukum yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran.

Dalam pandangan kita yang percaya kepada Tuhan Yang maha Esa bahwa akan berdosa para pembuat, penafsir, penegak, dan pelaksana hukum tersebut jika dalam pelaksanaannya didasarkan pada motivasi "memanfaatkan" hukum untuk kepentingan pribadi atau golongan, apalagi dengan membengkokkannya dari apa yang sebenarnya dan seharusnya.

Mungkin ini salah satu early warning yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam hadits No 1244, yang juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah bahwa dua pertiga dari penegak hukum (dalam pandangan penulis termasuk pembuat, penafsir, para ahli pemberi justifikasi penerapannya) akan bedosa dan masuk neraka (tentunya jika mereka memperlakukan hukum seperti yang penulis maksud di atas).

Namun sebaliknya, bagi mereka yang membuat, menafsirkan, menegakkan, dan melaksanakannya dengan niat baik dan menjadikannya sebagai ijtihad, maka mereka akan masuk ke dalam sepertiga yang akan dibalas dengan kebaikan, bahkan kalaupun ijtihadnya salah, tetap saja mereka mendapat imbalan kebaikan dengan nilai satu kebaikan dan jika benar akan mendapat dua nilai kebaikan, begitulah sabda Rasulullah SAW.

Sekarang terpulang kepada kita sebagai insan yang berkecimpung di bidang hukum akan memilih jalan yang mana? Mari kita berbenah mumpung masih ada waktu, begitu pesan penyanyi Ebiet Ghaffar Ade dalam syair lagu "Menjaring Matahari".

Kita semua menyadari bahwa hidup hanya sekali. Di tangan kita pilihan akan hidup mulia dengan perilaku dan mengamalkan ilmu secara amanah ataupun memilih sebaliknya.

Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, membimbing kita semua sehingga kita selamat di dunia dan di akhirat. Amin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement