Sabtu 05 Sep 2020 14:57 WIB

ESDM Wajibkan Standar NTP untuk Industri Pelumas

Kementerian ESDM menyebut negara hadir melindungi konsumen lewat pelumas standar NTP

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pelumas. Ilustrasi.Kementerian ESDM memiliki kewenangan untuk mengawasi produk pelumas mesin yang dijual di dalam negeri.
Foto: Wikipedia/Dvortygirl
Pelumas. Ilustrasi.Kementerian ESDM memiliki kewenangan untuk mengawasi produk pelumas mesin yang dijual di dalam negeri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian ESDM memiliki kewenangan untuk mengawasi produk pelumas mesin yang dijual di dalam negeri. 

“Setiap produk pelumas atau oli yang diedarkan ke masyarakat sebenarnya telah dijamin mutu dan standarnya oleh negara, sehingga tidak perlu ada isu yang berkembang terkait beda merek pelumas akan merusak mesin, atau merek kendaraan tertentu harus menggunakan oli tertentu,” ujar Kepala Seksi Penyiapan dan Penerapan Standarisasi Hulu Migas Kementerian ESDM Ilham R Hakim  saat acara Webinar Akurat Solusi Dugaan Praktek Monopoli dalam Bisnis Pelumas dan Perlindungan Konsumen, Jumat (4/9).

Menurutnya mindset yang terpatri tersebut akan melanggengkan praktik monopoli oleh perusahaan-perusahaan besar yang memiliki bengkel resmi."Kami pastikan negara hadir melindungi konsumen dimana pelumas ini diawasi dan memiliki mutu standar," ucapnya.

Menurutnya kualitas pelumas juga dinyatakan dengan pengawasan standar mutu pelumas oleh Ditjen Migas sesuai Permen ESDM No. 053/2006 yaitu setiap pelumas harus terdaftar Nomor Pelumas Terdaftar (NPT), selain standar SNI dan standar internasional lainnya.

 

“Pihak Ditjen Migas telah melakukan penertiban terkait NPT dari 2016 edaran sebanyak pelumas tanpa NPT sebesar 7,2 persen kemudian turun hingga 3,5 persen pada 2018,” ucapnya.

Sementara Ketua Dewan Penasehat Perhimpunan Distributor, Importir, dan Produsen Pelumas Indonesia (PERDIPPI) Paul Toar  menambahkan munculnya praktik monopoli pada akhirnya hanya akan merugikan konsumen serta perekonomian nasional. Bahkan bisa mematikan para pengusaha-pengusaha kecil yang bergerak sektor pelumas. 

"Seperti yang kita tahu saat ini bahwasanya di dalam dunia pelumas itu kebanyakan para pemain dari perusahaan kecil, oleh sebab itu kesehatan bisnis di sektor pelumas akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap pertumbuhan perekonomian indonesia," ucapnya.

Paul juga menyebut keraguan menggunakan pelumas merek lain terjadi karena adanya faktor monopoli. Padahal kualitas pelumas yang beredar sudah sesuai ketentuan pemerintah.

“Sekali lagi, hal itu terjadi karena ketidaktahuan masyarakat. Terlebih adanya power of monopoly dari agen pemegang merek dengan modus jika menggunakan olinya, maka garansi atas kendaraan tidak akan gugur dan sebagainya,” jelasnya.

Dia menegaskan keterlibatan masyarakat untuk mengawal proses persidangan KPPU sangatlah penting. Hal ini berkaitan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

Ditha Wiradiputra Ketua Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI (LKPU - FHUI) mengatakan secara perspektif hukum persaingan usaha, praktik yang dilakukan beberapa perusahaan yang menjual hanya beberapa pelumas atau oli di bengkel resminya, bisa juga masuk kategori praktik  Monopoli. 

"Jika suatu perusahaan, dalam hal ini menggunakan kekuatan pasarnya untuk mengatur penjualan dari dealer yang diajak kerjasama, ia bisa dikatakan melakukan monopoli. Jadi suatu usaha mereka punya kekuatan monopoli dan memindahkan kekuatan monopolinya ke pasar tempat lain," jelasnya.

Meski demikian dia mengatakan pelaku usaha bakal melakukan justifikasi terkait monopoli tersebut, dengan mengatakan produk yang dijual merupakan bagian dari satu kesatuan produk tertentu atau harga yang diberikan lebih murah dan tidak merugikan konsumen.

“Ini memang ada potensi pelanggaran persaingan usaha dan bahkan  konsumen sendiri tidak sadar karena justifikasi tersebut seolah-olah menjadi kewajaran sampai hari ini," jelas Dhita

Tulus Abadi selaku Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menegaskan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat tersebut akan sangat mereduksi hak-hak dasar konsumen yang dijamin di dalam UUPK, yaitu konsumen tidak ada pilihan produk yang variatif, yang mengakibatkan konsumen tidak bisa memilih suatu produk, barang dan jasa.

Padahal di dalam Pasal 4 UUPK, tambahnya, dimandatkan bahwa salah satu hak dasar konsumen adalah hak untuk memilih (Right to choose) dikarenakan tidak adanya hak untuk memilih akan berdampak pada dimensi kualitas produk dan atau ongkos kemahalan suatu produk. 

"Sehingga ending dari praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, adalah kerugian konsumen. Jadi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, selain akan mematikan pelaku usaha lain, juga akan 'mematikan' hak-hak konsumen," ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement