Selasa 01 Sep 2020 05:55 WIB

Pidato Husain Cucu Nabi SAW Sebelum Dipenggal di Karbala

Sayyidina Husain cucu Nabi Muhammad SAW dibantai di Karbala.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Karbala
Foto: [ist]
Karbala

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Nadirsyah Husen atau yang akrab disapa Gus Nadir mengungkapkan pidato indah yang disampaikan cucu Nabi Muhammad SAW yang bernama Sayyidina Husain bin Ali bin Abu Thalib. Pidato ini disampaikan Husain sebelum dipenggal kepalanya dalam tragedi Karbala pada 10 Muharram tahun ke-61 Hijriyah.

Pada saat itu, menurut Gus Nadir, lelaki berusia 58 tahun itu baru selesai melaksanakan sholat subuh. Kemudian, Husain bergegas keluar tenda dan menaiki kuda kesayangannya dan menatap pasukan yang tengah mengepungnya. 

Kemudian, ia mulai menyampaikan pidato yang indah dan menyentuh hati. “Mulailah lelaki itu berpidato dengan indah dan menyentuh hati,” kata Gus Nadir dikutip dari channel Youtube-nya dan dikonfirmasi Republika.co.id, Senin (31.8). Berikut isi pidato Sayyidina Husain yang disampaikan ulang oleh Gus Nadir:

“Lihatlah nasabku, pandangilah siapa aku ini, lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan menciderai kekhormatanku”.

 

“Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu (Fatimah Az-Zahra) ? Bukankah aku ini anak dari washi (penerima wasiat) dan keponakan Nabimu yang pertama kali beriman kepada ajaran Nabimu?”

“Bukankah Hamzah, pemuka para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far,  yang akan terbang dengan dua sayap di surga itu pamanku?”

“Tidakkah kalian mendengar kalimat yang viral di antara kalian sendiri bahwa Rasulullah SAW pernah berkata tentang saudaraku dan aku? Kata baginda Rasul, keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga.”

“ Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku maka tanyakanlah kepada para sahabat Nabi, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Said al-Khudri, Sahl bin Sa’ad, Zaid bin Arqam, dan Anas bin Malik, yang semuanya akan meberitahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku. Tidakkah ini semua cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?”.

Gus Nadir menjelaskan, kata-kata yang begitu eloknya ini direkam sejumlah kitab dari para ulama Ahlsunnah wal  Jamaah (Aswaja). Seperti oleh At-Thabari dalam kitabnya Tarikh At-Thabari jilid kelima halaman 425 dan oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah jilid ke-8 halaman 193.

Namun, menurut Gus Nadir, sayangnya mereka yang telah terkunci hatinya tidak tersadar dengan pidato yang disampaikan Sayyidina Husain tersebut. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidillah bin Ziyad itu tetap memaksa Sayyidina Husain untuk mengakui kekuasaan khalifah Yazid bin Muawiyah.

Hingga akhirnya, Husain dibunuh dengan tombak oleh Sinan bin Anas bin Amr Nakhai. Kemudian, dia juga menggorok leher Husain dan menyerahkan kepala Husain kepada Khawali bin Yazid. Hal ini diceritakan secara rinci oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah.

Menurut Gus Nadir, tragedi pembantaian di Karbala tersebut menunjukkan bahwa sistem kekhalifahan bukanlah satu-satunya solusi untuk umat Islam. “Tidakkah ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pertarungan di masa khilafah itu sampai mengorbankan nyawa seorang cucu Nabi SAW ? Apakah masih mau dibilang khalifah itu satu-satunya solusi umat?,” kata Gus Nadir.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement