Senin 31 Aug 2020 18:51 WIB

Kekerasan Perempuan dan Anak Masih Jadi Pekerjaan Rumah DIY

Perlu banyak pemangku ikut berperan aktif mengatasi permasalahan tersebut.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Mahasiswa menggelar kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. (ilustrasi).
Foto: Antara/Herry Murdy Hermawan
Mahasiswa menggelar kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Direktur LKBH FH Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Dr Bambang Sutiyoso mengingatkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY masih tinggi. Sepanjang 2019 saja, ada 195 laki-laki dan 1.277 perempuan dengan total 1.472 korban.

LKHB FH UII beranggapan jika kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan ancaman serius. Selain itu, kasus kekerasan dan eksploitasi perempuan dan anak terjadi karena tidak adanya konsistensi dalam penegakan hukum.

"Juga dari minimnya kesadaran masyarakat untuk melindungi korban kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak," kata Bambang, di webinar LKBH FH UII:Tantangan Pendidikan Hukum bagi Advokasi Perempuan dan Anak.

Pada 2018-2019, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polda DIY menangani 32 kasus kekerasan perempuan. Meliputi tujuh kekerasan fisik, enam penelantaran, tiga KDRT, tujuh pemerkosaan, delapan pencabulan, dan merusakan kesopanan di umum.

"Angka tersebut masih tergolong tinggi, sehingga perlu banyak pemangku ikut berperan aktif mengatasi permasalahan tersebut. Tanpa terkecuali, lembaga pendidikan tinggi, dikenal dengan Pendidikan Hukum Klinis," ujar Bambang.

Itu jadi program pendidikan yang didasarkan metodologi pengajaran interaktif dan reflektif. Berisi pengetahuan, nilai, dan keahlian praktis yang mampukan mahasiswa memberikan pelayanan hukum dan menciptakan keadilan sosial.

Tujuannya, menghubungkan teori dan praktik di bidang ilmu hukum. Program ini memersiapkan mahasiswa dengan beragam keahlian praktis dan tanggung jawab profesi, serta memperkenalkan konsep keadilan sosial kepada mahasiswa.

Diharapkan, mahasiswa dapat ikut berperan aktif dalam perlindungan hukum bagi perempuan dan anak. Untuk itu, LKHB FH UII mendorong perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak lewat Pendidikan Hukum Klinis.

Dapat dilakukan lewat perancangan produk hukum, pendampingan korban, dan pendekatan tertentu mencapai keadilan sosial. Bambang berharap, langkah-langkah preventif dapat di kedepankan.

"Sehingga, masyarakat akan semakin paham dan mengerti akan dampak negatif terhadap kekerasan terhadap perempuan dan anak," kata Bambang.

Ia berpendapat, akar masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak bersifat multidimensi dan multikompleks. Berakar dari masalah ekonomi, sosial-budaya, kesehatan jiwa, pengasuhan keluarga, pendidikan, dan penegakan hukum.

Bisa pula berakar dari komitmen politik dan hilangnya nilai-nilai karakter bangsa. Usaha penanggulangan dan mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa dilakukan dengan pendekatan hukum ataupun non-hukum.

Pendekatan hukum bisa memberikan informasi dan pengetahuan demi meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban hukum, dan langkah hukum apa yang dijalani. Karenanya, penting ada lembaga hukum yang fokus memberikan pendidikan hukum.

"Sebagai usaha perlindungan terhadap perempuan dan anak, salah satunya lewat lembaga konsultasi dan bantuan hukum kampus," ujar Bambang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement