Senin 31 Aug 2020 08:18 WIB

Kebijakan Cukai Perlu Perhatikan Industri Hasil Tembakau

Pemerintah akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau pada 2021.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja membuat rokok cerutu di Pabrik Cerutu Tarumartani, Yogyakarta (ilustrasi).  Pemerintah memastikan tahun depan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok akan naik.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Pekerja membuat rokok cerutu di Pabrik Cerutu Tarumartani, Yogyakarta (ilustrasi). Pemerintah memastikan tahun depan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok akan naik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memastikan tahun depan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok akan naik sebesar Rp 172,8 triliun, naik 4,8 persen dari target tahun ini sebesar Rp 164,9 triliun. Kenaikan tarif ini akan diumumkan pada akhir bulan September 2020 nanti.

Hal itu masih menjadi polemik karena kenaikan tarif CHT sekitar 23 persen pada tahun ini ternyata tidak menghasilkan penerimaan yang optimal. Kenaikan tarif cukai rokok sejalan dengan target penerimaan akhir 2021.

Baca Juga

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2021, Kemenkeu mematok penerimaan cukai sebesar Rp 178,5 triliun. Jumlah tersebut naik 3,6 persen year on year (yoy) dibanding outlook akhir tahun ini yang mencapai Rp 172,2 triliun.

Terkait hal ini, Kepala Sub Direktorat Tarif Cukai & Harga Dasar Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Sunaryo mengatakan kenaikan tarif cukai rokok tahun depan telah mempertimbangkan adanya dampak pandemi Covid-19 dan asumsi makro tahun 2021.

"Tentu asumsi makro akan menjadi pertimbangan dalam pembuatan policy dan penentuan target cukai di tahun 2021," ujarnya Ahad (30/8)

Ada empat aspek yang menjadi pertimbangan pemerintah soal kenaikan cukai hasil tembakau pada 2021. Pertama, hasil survei dampak pandemi Covid-19 terhadap kinerja reksan cukai yang menunjukan secara umum masih memiliki resilience untuk melindungi tenaga kerja (padat karya). Kedua, berdasarkan hasil indepth interview, secara umum kontributor utama mengalami penurunan baik secara volume maupun nominal cukai.

Ketiga, berdasarkan monitoring HTP, pabrikan belum sepenuhnya melakukan fully shifted/ forward shifting, kondisi saat ini pabrikan masih menalangi (backward shifting). Keempat, titik optimum menjadi penentuan target 2021 yang tidak serta merta penambahan beban berkorelasi positif terhadap sektor penerimaan.

Menurut Sunaryo, dalam prakteknya, performa cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2012 sampai 2018 secara nominal, produksinya terus menurun, prevalensi total Global juga turun, namun penerimaan cukai tercapai dan meningkat secara nominal serta proporsional. Kenaikan CHT tidak hanya mempertimbangkan penerimaan negara karena tidak serta merta penambahan tarif cukai dapat menambah penerimaan.

"Makanya ini tantangan bagi kita ini sendiri untuk membuat solusi. Bagaimana dengan situasi yang seperti ini bisa tumbuh penerimaan cukai tetapi pertimbangannya dari industri dan kesehatan bisa optimum," jelasnya.

Sementara Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Kementerian Keuangan Wawan Juswanto mengatakan kebijakan kenaikan tarif cukai mempertimbangkan tiga hal yakni Undang-Undang Cukai, optimalisasi kebijakan, dan kebijakan industri.

"Yang dipertimbangkan mana? tiga-tiganya ini kita pertimbangkan secara mix," ungkapnya.

Kendati demikian, Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Willem Petrus Riwu memprediksi volume produksi rokok bakal anjlok signifikan imbas dari pandemi Covid-19 dan kenaikan cukai rokok ini, sehingga perlu adanya Roadmap yang jelas dan memberi kepastian terhadap industri ini.

Ia menerangkan, estimasi penerimaan negara dari cukai akan terkoreksi menjadi Rp165 Triliun atau turun dari target penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang ditetapkan sebesar Rp 173,14 Triliun. Sehingga untuk tetap mempertahankan kinerja Industri Hasil Tembakau (IHT), pemerintah harus segera menyelesaikan roadmap.

Ia menyebutkan di tengah pandemi Covid-19 industri apapun membutuhkan kepastian termasuk IHT yang saat ini posisinya senantiasa merasa terancam. Mulai dari agenda perubahan struktur cukai, kenaikan tarif cukai yang eksesif hingga perubahan regulasi yang terus menekan IHT.

"Kondisi IHT saat ini sangat terhimpit , perlu komitmen bersama pemerintah dan pemangku lepentingan lainnya untuk memberi masa pemulihan. Dan berhenti menerbitkan kebijakan yang menciptakan ketidakpastian usaha selama 3 tahun bagi usaha IHT selama masa pemulihan," paparnya.

Rencana pemerintah untuk menyederhanakan cukai rokok mendapat pertentangan dari sebagian pelaku IHT, khususnya yang tergolong pelaku industri kecil dan menengah.

Peneliti Universitas Padjajaran Mudiyati Rahmatunnisa menambahkan sejak pemerintah berencana untuk menyederhanakan cukai atau simplifikasi cukai tembakau dari 12 layer ke 10 layer, malah mematikan industri kecil dan menengah. Bahkan di tengah dalih pemerintah, untuk menurunkan prevalensi perokok muda.

"Simplifikasi berisiko membuat pabrikan kecil akan kolaps dan berimplikasi pada penyerapan tembakau yang berkurang dan sekarang sebetulnya sudah mulai terasa. Sehingga penyerapan bahan baku tembakau bakal berkurang 30 persen sementara cengkih sampai dengan 40 persen," imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement