Senin 31 Aug 2020 06:14 WIB

Peran Sufi di China

Kaum Sufi pernah mendapat tempat terhormat di China.

Rep: Heri Ruslan/ Red: Muhammad Hafil
Peran Sufi di China. Foto: Tarian Sufi (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Peran Sufi di China. Foto: Tarian Sufi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Ketika Mongol menguasai China, kaum sufi mendapat tempat yang terhormat. Betapa tidak, para syekh sufi diberi kedudukan yang berpengaruh dalam pemerintahan. Menurut John L Esposito, pengaruh para syekh sufi di ranah birokrasi berkurang setelah kekuasaan Mongol jatuh pada 1368 M.

"Akibatnya, kaum Muslim harus berintegrasi secara penuh dengan masyarakat China,'' papar guru besar Studi Islam Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu. Meski begitu, pada zaman itu, tarekat-tarekat sufi masih berkembang dalam skala yang kecil di negeri yang kini berjuluk Tirai Bambu itu.

Baca Juga

Memasuki pertengahan abad ke-17 M, tepatnya pada 1644, orang-orang Manchu membentuk Dinasti Qing. Dinasti ini memperluas wilayahnya hingga menguasai sepertiga wilayah Islam di Asia Tengah. Pada masa itu, di wilayah Xinjiang berkembang Tarekat Naqsabandiyah yang dibawa oleh Ishaq Wali.

Syekh Naqsabandiyah di wilayah Xinjiang, Ma Mingxin (wafat 1781) sempat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Sang syekh juga menyempatkan diri untuk menuntut ilmu di Bukhara dan Yaman sebelum akhirnya kembali lagi ke Cina pada 1761.

Ma Mingxin termasuk penganut Tarekat Naksabandiyah beraliran Jahriyah yang suka melakukan zikir dengan lisan. Popularitas aliran tarekat itu mampu melampaui Khufriyah. Antara kedua tarekat yang ada di Xinjiang itu pun terdapat perbedaan sikap politik.

Khufriyah menudh Jahriyah telah menghasut dan membantu pemerintah Qing untuk meredam pemberontakan dan perjuangan rakyat pada 1781. Pada 1871, Tarekat Naksabandiyah Jahangir memimpin sebuah gerakan pembebasan untuk melawan dominasi Dinasti Qing di tanah kaum Muslim itu.

Gerakan perlawanan itu mereka beri nama perang jihad melawan dominasi Qing. Namun, upaya itu gagal karena terjadi konflik internal di kalangan umat Islam dan tarekat tasawuf. Pada 1862, kembali lagi terjadi pemberontakan melawan Dinasti Qing  di Shanxi dan Gansu.

Namun, pemberontakan itu kembali gagal. Bahkan, faksi pemberontak yang dipimpin Ma Zhan'ao, pengikut Khufi Naksabandiyah, menyerahkan diri kepada penguasa Qing. Perlawanan terhadap Dinasti Qing kembali muncul. Adalah Rasyidin Khan Khawajah di Kucha dan Mujahidin Abd al-Rahman di Yarkand yang menggelorakan Jihad Naksabandiyah.

Perlawanan dan gerakan politik Naqsabandiyah telah memberi inspirasi  bagi revolusi Jin Xiangyin dan pemimpin Kirgistan, Shiddiq Beg di Kashgar. Selain itu, juga telah memberi inspirasi bagi Tuo Ming di Urumchi pada tahun yang sama.

Memasuki abad ke-20 M, pengaruh politik tarekat-tarekat di Cina mulai berkurang. Pada era itu, Tarekat Naksabandiyah sempat memperoleh kembali pengaruh yang cukup dalam pemerintahan melalui pemimpinnya Jahri Ma Zhenwu. Hingga akhirnya, ia dituduh pemerintah telah melakukan eksploitasi pada 1958.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement