Senin 31 Aug 2020 06:10 WIB

Gerakan Tasawuf di Nusantara

Ulama tasawuf bayak yang memelopori gerakan mengusir penjajah.

Rep: Heri Ruslan/ Red: Muhammad Hafil
Gerakan Tasawuf di Nusantara. Foto: Kitab tasawuf (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Gerakan Tasawuf di Nusantara. Foto: Kitab tasawuf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sama halnya dengan di negara-negara Islam, tarekat tasawuf di nusantara pun tampil di garda depan untuk melawan dan mengusir penjajah. Sejarah peradaban Islam mencatat, ada sederet gerakan perlawanan yang dipimpin syekh tasawuf bersama para pengikutnya untuk melawan penjajah Belanda.

Muslim di nusantara, menurut Prof Azyumardi Azra dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, terbagi menjadi dua dalam menyikapi penjajah Belanda. Ada yang melakukan perlawanan secara terbuka dan ada pula yang melakukan perlawanan secara diam-diam.

Baca Juga

Menurut mantan rektor Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta itu, para ulama dan pengikutnya yang melakukan perlawanan secara diam melakukan uzlah atau menjauhkan diri dari penguasa kolonialis kafir. "Uzlah para ulama itulah yang kemudian telah mendorong terjadinya radikalisasi tarekat dan tasawuf," ungkapnya.

Gerakan Reformis Paderi di Minangkabau yang kemudian menjadi perang antikolonialisme, salah satunya dimotori tarekat tasawuf yang berkembang waktu itu. Gerakan radikalisasi tarekat terus mendapatkan momentum sepanjang abad ke-19 M.

Peran tarekat tasawuf dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda juga tampak menonjol dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Dalam pertempuran itu, Pangeran Diponegoro disokong para kiai, haji, dan kalangan pesantren. Dalam perjuangan yang dilakukan Diponegoro, Kiai Maja pun tampil sebagai pemimpin spiritual pemberontakan tersebut.

 

Guna menarik dukungan dari  kalangan pondok pesantren, tokoh agama, syekh, dan pengikut tarekat, Pangeran Diponegoro menyebut pemberontakan yang dipimpinnya sebagai perang suci atau perang sabil. Karena itulah, para pengikut tarekat dan umat Islam lainnya, pada waktu itu, meyakini pemberontakan Diponegoro sebagai perang suci untuk mengembalikan pemerintahan Islam di Jawa.

Martin van Bruinessen dalam tulisannnya bertajuk, "Tarekat dan Politik:Amalan untuk Dunia atau Akhirat?", juga mengungkapkan peran dan perjuangan tokoh dan pengikut tarekat dalam melawan Belanda. Peran tarekat yang tak kalah pentingnya dalam perlawanan penjajah Belanda juga dilakukan tarekat Sammaniyah di Palembang dalam Perang Menteng.

Perjuangan para tokoh dan pengikut tarekat itu berhasil mengalahkan gempuran pertama pasukan Belanda pada 1819. Seorang penyair Melayu menggambarkan bagaimana kaum putihan atau haji mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabillillah. Mereka membaca asma (al-Malik, al-Jabbar), berzikir, dan beratib dengan suara keras sampai fana.

Dalam keadaan tak sadar ('mabuk zikir') mereka menyerang tentara Belanda. Mereka berani mati, mungkin juga merasa kebal lantaran amalan tadi, dan dibalut semangat dan keberanian mereka berhasil membuat Belanda kocar-kacir. Menurut Bruinessen, tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari tanah suci oleh murid-murid Abdussamad al-Palimbani pada penghujung abad ke-18 M.

Syekh Abdussamad dikenal terutama sebagai pengarang Sair Al-Salikin dan Hidayat Al-Salikin, dua karya sastra tasawuf Melayu yang penting. Syekh Abdussamad, kata Bruinessen, adalah seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia, bahkan mungkin boleh disebut militan.

Tidak mengherankan kalau murid-muridnya yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik. "Meski begitu, Syaikh Abdussamad bukanlah ahli tarekat Indonesia pertama yang bersemangat jihad melawan penjajah non-Muslim," tutur Bruinessen.

 

Satu abad sebelum tarekat Sammaniyah yang dipimpin Syekh Abdussamad melakukan gerakan perlawanan terhadap Belanda, Syekh Yusuf al-Makassar yang bergelar 'al-Taj al-Khalwati' telah melakukan hal yang sama. Di Banten, Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan dan 1.000 di antaranya berasal dari Makassar telah mengobarkan perang terhadap 'kolonial kafir'.

Bahkan, ketika di buang ke Srilanka pun, Syekh Yusuf terus mengobarkan semangat perlawanan lewat karya-karyanya kepada para Sultan dan pengikutnya di Gowa dan Banten. Sebagai seorang sufi, Syekh Yusuf pun telah ikut terjun ke dunia politik saat itu, dengan menjadi penasehat Sultan Ageng Tirtayasa.

Selain itu, sejarah juga mencatat banyak lagi gerakan pemberontakan melawan penjajah belanda yang dimotori tarekat, seperti pemberontakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (1859-1862), kasus Haji Rifa'i (Ripangi) dari Kalisasak (1859), Peristiwa Cianjur-Sukabumi (1885), Pemberontakan Petani Cilegon-Banten (1888), Gerakan Petani Samin (1890-1917), dan Peristiwa Garut (1919).

Pemberontakan di Banjarmasin dipimpin tuan guru yang mengajarkan amalan 'beratif baamal', suatu varian amalan tarekat Sammaniyah. Konon, orang berbondong-bondong datang dibaiat, mereka berzikir dan membaca ratib sampai tidak sadar lagi dan kemudian menyerang tentara kolonial tanpa mempedulikan bahaya.    

Gerakan Beratif Baamal ini meliputi hampir seluruh seluruh Banua Lima dan wilayah yang sekarang menjadi daerah Hulu Sungai Tengah dan Utara Kalimantan Selatan dengan pusat kegiatan di masjid dan langgar. Pimpinan dari gerakan ini kaum ulama yang disebut dengan 'Tuan Guru'.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement