Ahad 30 Aug 2020 11:23 WIB

Perceraian karena Sulit Ekonomi Saat Pandemi Bukan Solusi

Pada bulan Juni, kasus perceraian di Indonesia meningkat jadi 57 ribu kasus.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Friska Yolandha
Sejumlah warga mengurus proses perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Senin (3/10). Kasus perceraian di sejumlah daerah mengalami peningkatan. Kebanyakan perceraian dilatarbelakangi masalah ekonomi yang sulit di tengah pandemi Covid-19.
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah warga mengurus proses perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Senin (3/10). Kasus perceraian di sejumlah daerah mengalami peningkatan. Kebanyakan perceraian dilatarbelakangi masalah ekonomi yang sulit di tengah pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus perceraian di sejumlah daerah mengalami peningkatan. Kebanyakan perceraian dilatarbelakangi masalah ekonomi yang sulit di tengah pandemi Covid-19. 

Berdasarkan data Direktorat Jendral Badan Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia mayoritas penggugat cerai yang masuk dalam daftar pengadilan agama berasal dari istri, dilandasi faktor ekonomi. Penggugat perceraian umumnya di Pulau Jawa khususnya di Provinsi Jawa Barat. Kemudian juga di kota Semarang, dan Surabaya. 

Baca Juga

Tercatat bahwa pada awal penerapan PSBB pada April dan Mei 2020 perceraian di Indonesia di bawah 20 ribu kasus. Namun pada bulan Juni dan Juli 2020, jumlah perceraian meningkat menjadi 57.000 kasus. 

Ketua komisi dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menjelaskan bahwa dalam Islam bila seorang istri tidak memperoleh nafkah lebih dari enam bulan dan tidak mendapatkan kabar kepergian suaminya maka boleh mengajukan perceraian. Kendati demikian, menurut kiai Cholil dalam kondisi kesulitan ekonomi di tengah pandemi, pasangan suami istri semestinya mencari solusi bersama dan menghindari perceraian. 

 

"Pada saat covid 19 pandemi ini masih merebak di tengah kita, maka ini musibah sebenarnya. Oleh karena itu, sabar lebih baik, dalam arti mencari bareng bareng kalau ketepatan perempuannya dapat memenuhi nafkah niatkan saja itu sedekah kepada keluarganya karena itu sebenarnya kewajiban suami. Suami terus mencari," kata kiai Cholil kepada Republika,co.id pada Ahad (30/8).

Kiai Cholil menjelaskan, perceraian bukan menjadi solusi dari masalah ekonomi yang dihadapi pasangan suami istri di tengah pandemi. Terlebih perceraian juga dapat berdampak bagi anak. Sebab itu, menurut kiai Cholil, bersabar dan terus berikhtiar menjadi lebih baik dalam menghadapi situasi pandemi saat ini.

"Ingat pada komitmen dan yang paling penting tanamkan dalam dirinya bahwa pernikahan adalah ibadah. Sehingga masalah yang diterimanya anggaplah bagian proses dari mendekatkan diri kepada Allah, keterbukaan dan kejujuran untuk bareng-bareng mencari jalan solusinya," kata kiai Cholil.

Perceraian bukan saja membuat luka pada masing-masing pasangan. Namun, juga setiap beban hidup justru akan ditanggung sendiri oleh masing-masing pasangan yang memutuskan bercerai. Lebih dari itu, menurut kiai Cholil, perceraian juga dapat membuat pendidikan anak menjadi terbengkalai. Sebab, menurut Kiai Cholil, banyak kasus kenakalan remaja terjadi akibat keluarga yang tidak akur.

"Sehingga, kita perlu memikirkan dampak dari generasi yang kita lahirkan. Dan tentunya mempertahankan seraya berdoa dan berupaya penuh," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement