Jumat 28 Aug 2020 09:21 WIB

Urgensi Transformasi Keterwakilan Rakyat

Legislator harus menyesuaikan cara kerja masyarakat ,yang diisi generasi Y dan Z

Barid Hardiyanto
Foto: istimewa/facebook
Barid Hardiyanto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Barid Hardiyanto*

Keterwakilan rakyat di Indonesia termanifestasikan dalam dewan perwakilan rakyat daerah sampai pusat. Dari waktu ke waktu, tingkat kepercayaan kepada lembaga perwakilan rakyat tersebut berada di bawah lembaga negara lainnya. Survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA dari tahun 2018 sampai 2020 menunjukkan DPR selalu menempati urutan terakhir lembaga negara yang dipercaya oleh publik.

Begitu pula dalam soal pemberitaan. Legislatif di daerah lebih sering diberitakan melakukan kunjungan kerja (kunja) ketimbang melakukan kerja-kerja mewakili kepentingan rakyatnya. Buruknya lagi, kunja digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan uang tambahan atau bahkan untuk mengembalikan modal saat pencalonan.

Di masa pandemi ini, DPR juga mendapat sorotan. Masyarakat menilai peran mereka sangatlah kecil. Bahkan yang justru muncul adalah sikap-sikap yang dianggap tidak etis dan sensasional seperti meminta diprioritaskan untuk di tes covid, adanya obat herbal yang diklaim dapat menyembuhkan corona dan lain-lain. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan tuduhan bahwa para legislator tersebut menggunakan masa pandemi sebagai jalan untuk meloloskan undang-undang yang selama ini telah diprotes publik seperti: Omnibus Law, UU Minerba dan undang-undang kontroversi lainnya.

Melihat berbagai kondisi di atas, tak mengherankan bila kemudian muncul perlawanan dari masyarakat. Salah satunya dari Fraksi Rakyat Indonesia (FRI). Mereka membuat poster yang berbunyi: “Pengesahan UU Pertambangan Mineral dan Batubara itu waktunya bayar utang “ijon politik” sama oligarki penyokong hajatan pemilu, sedangkan nasib rakyat dinistain sama “wakil” pilihannya sendiri. Kapok ngga sih diwakilin?” Bagian akhir kalimat ini sangat menyentak: Kapok ngga sih diwakilin? Ini menunjukkan bahwa rakyat merasa keterwakilannya di DPR sudah tidak bisa dipertahankan.

Belum lagi jika kita melihat realitas dalam jagad politik yang mulai mendapat tantangan dengan terjadinya disrupsi akibat dari penggunaan teknologi. Disrupsi oleh teknologi ini telah menyasar hampir seluruh sendi kehidupan. Di institusi bisnis, banyak perusahaan besar yang tergulung oleh perusahaan-perusahaan rintisan yang kemudian menjadi pemain utama. Di pemerintahan, Jokowi juga telah mengisyaratkan akan terjadinya perubahan dalam birokrasi pelayanan masyarakat. Di waktu ke depan, pekerjaan manusia akan digantikan oleh robot atau artificial intellegence (AI).

Sekarang ini, fungsi-fungsi legislatif khususnya dalam hal pengawasan dan penyampaian aspirasi telah digantikan oleh kekuatan sosial media. Masyarakat tidak perlu lagi meminta kepada legislatif untuk melakukan pengawasan kepada eksekutif. Ketika terdapat pembangunan yang dianggap diselewengkan eksekutif, masyarakat cukup menyampaikannya melalui sosial media kepada bupati, gubernur atau ke lembaga lain seperti ombudsman bahkan KPK. Begitu pula dalam penyampaian aspirasi. Sekarang ini banyak grup whatsapp yang didalamnya diisi oleh tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah. Penyampaian aspirasi tidak lagi dilakukan melalui anggota legislatif. Aspirasi dapat disampaikan langsung via grup whatsapp tersebut.

Pengawasan dan penyampaian melalui sosial media ini dirasa lebih efektif dan efisien karena biasanya langsung mendapatkan tanggapan bahkan sangat banyak yang juga dapat terealisir dalam waktu sekejap. Hal ini jauh lebih efektif ketimbang harus bicara terlebih dahulu ke legislatif yang memakan waktu tidak sebentar bahkan kadang diselipkan kepentingan politik dari anggota yang dititipi.

Disrupsi dari adanya kemajuan teknologi ini sifatnya tidak bertahap. Bisa saja sebuah institusi yang sudah mapan selama bertahun-tahun tiba-tiba hancur tanpa disadarinya. Kemungkinan terjadinya perubahan besar tersebut tentu saja perlu mendapatkan perhatian khusus dari para legislator. Sebab jika tidak mau melakukan perubahan bukan tidak mungkin legislatif dengan model dan metode kerja yang seperti sekarang ini akan tidak lagi relevan. Untuk itulah, legislatif perlu melakukan perubahan dalam beberapa hal. Pertama, perlunya perubahan mendasar dalam hal memaknai fungsi keterwakilan masyarakat.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap legislatif baik yang ditunjukkan oleh hasil survei, pernyataan sikap, perlawanan keseharian dan keberadaan teknologi yang mendisrupsi harus mampu dielaborasi untuk dapat menemukan kembali makna, model dan metode kerja yang adaptif.

Kedua, meningkatkan kemampuan sumber daya anggota legislatif dalam penggunaan teknologi serta penyesuaian terhadap kondisi terkini. Keberadaan teknologi harus disikapi dengan cara kerja baru. Sejauh ini, hilangnya fungsi legislatif dalam hal pengawasan dan penyampaian aspirasi adalah karena para anggota legislatif tidak kompeten dalam penggunaan teknologi serta tidak dapat menyesuaikan dengan cara kerja generasi sekarang.

Legislatif harus kompeten menggunakan teknologi terkini. Selain itu, para legislator harus dapat menyesuaikan dengan cara kerja masyarakat yang ke depan akan dipenuhi dengan generasi Y dan Z yang mempunyai karakter yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Ketiga, perbaikan kinerja. Hal ini terdengar klise tetapi dari waktu ke waktu, tidak terlihat adanya perubahan signifikan dalam perbaikan kinerja legislatif. Di level daerah, legislatif justru lebih sering melakukan kunja ketimbang menjalakan fungsinya. Pada level nasional pun demikian. Sampai sekarang ini kinerja legislatif juga masih dinilai lebih buruk dari lembaga negara lainnya.

Keempat, legislatif harus menjadi contoh dalam hal pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut dari tahun 2014-2019, legislatif (DPR dan DPRD) merupakan institusi paling banyak yang melakukan korupsi yakni sebanyak 255 orang yang telah ditetapkan atau menjadi tersangka korupsi. Sebagai wakilnya rakyat, seharusnya legislatif menjadi contoh utama dalam hal pemberantasan korupsi. Begitu juga dalam tata pergaulan. Sudah banyak kritik dan sindiran atas legislatif dalam hal mempertontonkan hal yang tidak etis seperti hidup bermewah-mewah maupun tingkah laku buruk lainnya. 

Akhirnya, bila legislatif ingin tetap menjadi wakil rakyat maka legislatif harus melakukan pembenahan diri serta dapat menjawah tantangan zaman. Bila tidak, bukan tidak mungkin keberadaanya akan tertelan oleh zaman dan hanya menjadi sejarah masa lalu.

*Kandidat Doktor di Ilmu Administrasi Publik UGM. Penerima beasiswa LPDP dan bekerja di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumber daya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement