Kamis 27 Aug 2020 14:47 WIB

Muharram dan Kisah Karbala

Karbala menjadi kisah kelam dalam bulan Muharram.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Muhammad Hafil
Muharram dan Kisah Karbala. Foto: Karbala
Foto: [ist]
Muharram dan Kisah Karbala. Foto: Karbala

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Muharram sebagai penanda bulan pertama penanggalan Hijriyah, memiliki berbagai keutamaan. Walaupun, di bulan ini juga terdapat kisah kelam bagi keturunan keluarga Nabi Muhammad SAW.

Sebagai contoh, beberapa peristiwa yang dikenang dalam bulan ini adalah bertaubatnya Nabi Adam AS kepada Allah atas dosa-dosanya. Bahkan, Kapal Nabi Nuh AS juga disebut selamat berlabuh di bukit Zuhdi pada bulan ini.

Baca Juga

Sebenarnya, ada banyak kisah atau peristiwa yang dialami Nabi-nabi di bulan Muharram ini. Hingga, pada suatu saat terjadi pertempuran Karbala yang menyebabkan cucu Rasulullah SAW, Husein bin Ali bin Abu Thalib meninggal di wilayah tersebut.

Karbala yang dianggap Muslim Syiah sebagai salah satu tempat suci, berada di sekitar 100 km sebelah barat Kota Baghdad, Irak.

Berdasarkan Ensiklopedi Oxford yang membahas Dunia Islam Modern oleh John L, Karbala berasal dari bahasa Aramik, Karbela. Sedangkan dalam literatur keagamaan Syiah, John menyebut, jika Karbala berasal dari dua suku kata, yakni Karb yang berarti duka cita dan bala’ berarti bencana.

Jika membahas wafatnya Husein, kejadian itu bisa ditilik ke belakang, di mana kebencian dan dendam dari perang khalifah-khalifah sebelumnya berkecamuk. Utamanya, ketika seorang Khawarij berusaha melakukan pembunuhan terhadap Ali bin Abu Thalib saat ibadah Subuh.

Dalam buku Al Husein bin Ali oleh Al Hamid Al Husaini, para sahabat bertanya kepada Ali sebelum ia wafat karena serangan tersebut. Ditanya apakah pengikutnya harus membaiat putranya, Hasan, Ali bin Abu Thalib tak menolak dan tidak menyarankannya.

Alhasil, Hasan yang pada awalnya menolak, didesak oleh penduduk Kufah dan menerimanya. Ia pada saat itu juga mengetahui ada keinginan perebutan khalifah oleh Muawiyah.

Hingga pada akhirnya, Hasan mengajak Muawiyah bergabung sebagai khalifah. Meskipun, ajakan itu ditolak, karena Muawiyah merasa lebih mengerti dan berpengalaman atas politik.

Singkat cerita, kedua pihak tak lepas dari konflik. Utamanya, Muawiyah yang ingin menggulingkan Hasan yang telah dibaiat. Sampai dibuatnya keputusan atau perjanjian damai setelah pertempuran terjadi dan merugikan Hasan. Di mana isinya adalah menyerahkan kekhalifahan pada Muawiyah, kejadian itu dipercaya terjadi pada 40 H.

Setelah menyerahkan Kekhalifahan, kedua tokoh itu meninggal.  Namun, Yazid bin Muawiyah yang dinobatkan sebagai penerus pimpinan juga diketahui membenci keturunan Ali bin Abu Thalib, khususnya Husein, adik Hasan yang saat itu berada di Madinah dan dipaksa pergi.

Tak pelak, hal itu yang menjadikan Yazid dan pasukannya  yang berada di Damaskus saat itu, membantai Hasan dan pengikutnya di Karbala. Tepatnya pada 10 Oktober 680 M / Muharram 61 H. Kembali dalam bukunya, Esposito mengatakan, Karbala juga menjadi tempat masyhur di antara Syiah karena pertempuran itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement