Rabu 26 Aug 2020 23:52 WIB

Halal tak Hanya Jadi Monopoli Muslim

Pemerintah didesak membangun infrastruktur penunjang industri halal.

Halal tak Hanya Jadi Monopoli Muslim (ilustrasi).
Foto: Thoudy Badai_Republika
Halal tak Hanya Jadi Monopoli Muslim (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gaya hidup halal saat ini disebut bukan lagi hanya monopoli Muslim dan agama tertentu. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah, gaya hidup tersebut sudah menjadi tren masyarakat dunia.

Produk-produk halal yang mulai dapat tempat merentang dari pangan, pariwisata, keuangan, mode, kosmetik, dan obat-obatan. "Saat ini pilihan masyarakat telah bergeser dari memilih produk murah dan sehat ke pangan dan produk yang aman sehat dan halal. Karena, produk yang halal di samping telah terjamin kesyariahannya, juga diyakini mengandung keberkahan," ujar Ikhsan Abdullah.

Dia mengatakan, berbagai negara berlomba membangun industri halal guna pemenuhan pasar dunia yang potensinya sangat besar. Di antaranya Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Timur Tengah, Turki, Rusia, Afrika, dan negara-negara Eropa.

Menurut Ikhsan, Indonesia sebagai negara dengan negara berpenduduk Muslim terbanyak harus mampu menjadi negara pengekspor pangan dan produk halal di pasar dunia. "Kita bisa menata kembali komoditas ekspornya dengan membangun industri yang berbasis bahan pangan dan produk halal guna menggerakkan kembali ekspor kita yang selama ini terpuruk," kata dia.

Sebab itu, ia menekankan, pemerintah wajib melaksanakan Undang-Undang Jaminan Produk Halal, yakni UU No 33 Tahun 2014 dengan segera menerbitkan peraturan pelaksanaannya dan regulasi lainnya. Selain itu, pemerintah juga sebaiknya segera membangun infrastruktur industri halal, seperti pelabuhan, kargo udara, kawasan industri dan logistik halal, seperti juga yang saat ini telah dan sedang dibangun oleh Malaysia, Singapura, Brunei, Cina, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Thailand.

Ikhsan mengatakan, negara-negara tersebut saat ini sangat serius menciptakan regulasi dan infrastruktur industri halal guna mendorong peningkatan pangan dan produk halal mereka di pasar global. Pengalaman dari Malaysia dan Singapura, produk halal yang diekspor negara-negara tersebut melejit hingga mencapai 25 persen dari total nilai ekspornya selama 10 terahir ini.

Pada September lalu, laman Bloomberg sempat juga melaporkan merebaknya bisnis makanan halal di AS. Bloomberg mengutip pembuat aplikasi panduan restoran halal di AS, Zabihah, Shahed Amanullah mengklaim hanya menemukan 200 tempat yang menyajikan makanan halal ketika ia mulai membuat Zabihah pada 1998. Kini, Zabihah bisa menelusuri sekitar 7.600 restoran yang menyajikan makakan halal. "Makanan adalah medium luar biasa untuk berbagi budaya," kata Amanullah.

Menurutnya, AS memiliki kultur makanan sendiri. Isu etika terhadap hewan kini menjadi arus utama. Dalam hal ini, Islam mengajarkan umatnya untuk memperlakukan hewan dengan baik, termasuk saat penyembelihan.

Di hampir semua rantai pasok pangan di AS, produk halal menunjukkan pertumbuhan nyata. Perusahaan riset, Nielsen, memprediksi, penjualan pangan halal di toko-toko ritel dan sejenisnya mencapai 1,9 miliar dolar AS selama 12 bulan per Agustus 2016. Angka ini naik 15 persen dibandingkan 2012.

Sedangkan, Islamic Food and Nutrition Council of America memperkirakan, secara keseluruhan dari restoran hingga supermarket, penjualan produk halal diproyeksikan mencapai 20 miliar dolar AS tahun ini atau naik sepertiga dibandingkan 2010.

Pioner perusahaan makanan organik dan alami asal AS, Whole Foods Market Inc, menilai produk halal sebagai salah satu produk yang berkembang pesat di AS. Whole Foods bahkan menggelar promo Ramadhan sejak 2011.

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Selasa, 18 Oktober 2016

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement