Rabu 26 Aug 2020 16:18 WIB

Di Balik Maraknya Gugatan Perceraian pada Masa Pandemi

Jumlah gugatan cerai pada masa pandemi Covid meningkat di beberapa pengadilan agama.

Sejumlah warga mengurus proses perceraian di sebuah Pengadilan Agama. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah warga mengurus proses perceraian di sebuah Pengadilan Agama. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh M Fauzi Ridwan, Dea Alvi Soraya, Fuji Eka Permana, Antara

Pada awal pekan ini, media sosial Instagram sempat diramaikan oleh video yang memperlihatkan antrean belasan orang yang sedang mengajukan pendaftaran gugaran cerai ke Pengadilan Agama Soreang, Kabupaten Bandung. Keterangan dalam video tersebut yaitu, "Ini bukan antrean penerima bansos guys, tapi ini antrean orang-orang yang mau cerai di Pengadilan Agama Soreang," demikian penjelasan video viral tersebut.

Baca Juga

Panitera Pengadilan Agama Soreang Ahmad Sadikin yang kemudian dikonfirmasi Republika, membenarkan antrean yang terlihat di dalam video tersebut. Namun, menurutnya, antrean warga di Pengadilan Agama Soreang bukan hanya untuk mendaftarkan gugatan namun untuk yang lainnya.

"Bukan hanya yang daftar (gugatan) saja tapi yang sidang yang ambil produk dan memang hari ini sangat banyak, lahan parkir sempit," ujarnya saat dihubungi, Senin (24/8).

Ahmad mengungkapkan, per harinya sidang gugatan perceraian di Pengadilan Agama Soreang bisa mencapai 250 kasus, 75 yang mendaftar serta 90 orang yang mengambil produk gugatan. Menurutnya, antrean orang yang berperkara di Pengadilan Agama Soreang tidak hanya terjadi Senin (24/8).

Ahmad melanjutkan, pada awal pandemi Covid-19 Pengadilan Agama Soreang sempat ditutup beberapa pekan, selanjutnya dibuka dengan jumlah pengunjung dibatasi 15 orang perhari. Menurutnya, pada bulan Juni jumlah masyarakat yang berperkara bertambah banyak.

"Sangat tinggi, satu bulan itu mencapai 800 yang daftar," katanya.

Terkait alasan banyaknya gugatan perceraian, ia mengungkapkan masyarakat menggugat karena berbagai faktor salah satu yang banyak muncul terkait permasalahan ekonomi. "Sampai hari ini perkara masuk di Pengadilan Agama Soreang 5.262 perkara contentius dan 463 voluntair. Jumlah 5.825," katanya.

Meningkatnya jumlah kasus perceraian kala pandemi Covid-19 juga terjadi di Kota Jambi. Permasalahan ekonomi menjadi faktor utama penyebab.

"Keadaan ekonomi masih menjadi faktor utama dalam proses gugatan perceraian yang masuk di Pengadilan Agama Jambi," kata Panitera Pengadilan Agama Jambi Rusdi di Jambi, Ahad (23/8).

Selain faktor ekonomi, faktor hukum dan kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi penyebab terjadinya perceraian di daerah itu. Namun, permasalahan ekonomi menjadi penyebab tertinggi.

Hingga Agustus 2020 ini terdapat 308 gugatan cerai di Pengadilan Agama Jambi dan 112 permohonan cerai. Jumlah kasus perceraian tersebut menurun tujuh persen dari kasus perceraian pada 2019. Pada 2019 total kasus perceraian di daerah itu mencapai 1.409 perkara, baik gugatan maupun permohonan.

Menurut Rusdi, di tengah pandemi Covid-19 pendapatan warga berkurang sehingga bermasalah terhadap perekonomian rumah tangga. Sang istri pun kemudian menggugat cerai suami ke kantor pengadilan agama.

Pengadilan Agama Serang, Banten, mencatat dalam kurun waktu 2019 hingga 2020 telah menangani 7.000 kasus penceraian yang diajukan oleh penggugat baik dari istri maupun suami. Ketua Pengadilan Agama Serang, Dalih Effendy mengatakan, hingga bulan Juli 2020, pengajuan gugatan penceraian mengalami peningkatan dan sebagaian perkara masih dalam proses.

Effendy mengungkapkan, alasan terjadinya penceraian tersebut disebabkan oleh faktor ekonomi serta orang ketiga di dalam rumah tangganya."Rata-rata alasan mereka mengajukan gugatan itu karena faktor ekonomi, apalagi saat pandemi seperti ini," kata Effendy, Jumat (10/7).

Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah, Diyah Puspitarini mengaku sudah memprediksi terjadinya fenomena perceraian pada masa pandemi Covid-19. Apalagi, fenomena serupa juga terjadi di beberapa negara lain.

“Kami sebenarnya telah mendiskusikan hal ini pada awal pandemi lalu, sekitar Maret atau April, bahwa fenomena ini telah terjadi di beberapa negara yang juga terpapar Covid-19, di mana angka perceraian meningkat pada masa pandemi,” kata Diyah saat dihubungi Republika, Rabu (26/8).

Diyah mengatakan, terdapat sejumlah alasan di balik meningkatnya angka perceraian selama pandemi. Salah satunya, didasari oleh faktor internal keluarga.

“Memang banyak hal yang dapat menjadi alasan, salah satunya faktor internal keluarga jadi komunikasi yang tidak maksimal antara suami dan istri, itu juga menjadi perhatian,” ujar Diyah.

Selain itu, kata Diyah, faktor eksternal juga dapat menjadi alasan dibalik maraknya kasus perceraian yang terjadi. Terbatasnya ruang gerak selama pandemi menyebabkan kejenuhan tersendiri, sambungnya.

“Karena di masa pandemi seperti sekarang memang menjadikan seseorang yang aktif beraktivitas di luar menjadi berkurang dan terbatas geraknya karena harus lebih lama menghabiskan waktu di rumah, itu juga menjadi kejenuhan tersendiri,” ujarnya.

Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi alasan kuat banyaknya pasangan yang memilih untuk berpisah. Mengingat banyaknya karyawan yang terpaksa harus kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

“Lalu faktor ekonomi, munculnya pandemi ini kan juga menurunkan produktivitas ekonomi baik lokal maupun global, jadi mereka yang terdampak PHK menjadi salah satu faktor pula,” kata dia.

Kementerian Agama (Kemenag) memiliki program ketahanan keluarga untuk mendukung mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah. Salah satu tujuan dari program ini untuk mengantisipasi perceraian.

Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag, Muharram Marzuki menyampaikan, Kemenag mempunyai program ketahanan keluarga. Melalui program ini, Kemenag berharap keluarga bisa melanggengkan tali pernikahan.

"Bersama-sama kita mengelola penguatan keluarga, program penguatan ketahanan keluarga, yaitu melalui program bimbingan perkawinan," kata Muharram kepada Republika, Rabu (26/8).

Muharram menjelaskan, bimbingan perkawinan ini dilakukan tidak hanya kepada masyarakat usia nikah yaitu 19 tahun, tetapi juga dilakukan kepada para remaja putri usia pra nikah. Bahkan pembimbingan masih dilakukan setelah mereka menikah atau masa nikah. Supaya terwujud ketahanan keluarga.

Ia menerangkan, keluarga yang kuat dan tahan adalah yang mampu mewujudkan keluarga sakinah, mawadah dan warohmah. Di dalam keluarga ada istri, suami dan anak, mereka adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Mereka harus mampu mengelola keluarga dan memperkuat jalinan keluarga.  

"Dalam ketahanan keluarga penting juga memperkuat aspek lain, tidak hanya memperkuat mental dan spiritual, tapi ketahanan mental dan spiritual adalah yang paling utama," ujarnya.

photo
Anak bermain saat pandemi Covid-19 - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement