Rabu 26 Aug 2020 12:50 WIB

Ketika TNI dan TRIP Berseteru di Blitar

Pasukan Tentara Republik Indonesia Pelajar terlibat perseteruan dengan TNI di Blitar

Markas perjuangan TRIP Jatim di Blitar.
Foto: istimewa
Markas perjuangan TRIP Jatim di Blitar.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Wilda Fizriyani

MALANG -- Sekitar 70 tahun lalu telah terjadi peristiwa menarik di Blitar, Jawa Timur (Jatim). Pasukan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) terlibat perseteruan dengan TNI hingga mengakibatkan beberapa orang tewas.

Peneliti Sejarah Militer, Hasumi Aditya mengatakan, perseteruan antara TRIP dan TNI berlangsung dari Januari sampai Maret 1950. Peristiwa ini menimbulkan baku tembak yang terjadi antara 22 Januari hingga 10 Februari 1950.

"Peristiwa terjadi lebih tepatnya Blitar Utara, utaranya sungai Brantas. Di Srengat wilayah timur hingga ke Kecamatan Wlingi, pertempuran terjadi di garis sepanjang 25 kilometer," jelas mahasiswa pascasarjana sejarah Universitas Negeri Malang (UM) tersebut.

Jika menilik sejarahnya, TRIP di Jatim dipelopori para pelajar di Surabaya yang memiliki perhatian serius terhadap kemerdekaan Indonesia. Bentuk kecintaan ini diwujudkan dengan membentuk organisasi tentara yang terdiri atas pelajar-pelajar di Surabaya (Sagimun, 1989: 173).

TRIP resmi menggabungkan diri mengangkat senjata dalam memperjuangkan kemerdekaan RI sekitar 1945 sampai 1946. Dua tahun berikutnya, para pelajar setingkat SMP dan SMA ini diangkat menjadi tentara. Mereka memperoleh seragam, gaji dan pangkat selama bertugas.

Konflik TRIP dan TNI bermula dari peristiwa Agresi Militer II. Peristiwa ini mendorong militer menyusun startegi gerilya dengan membentuk pasukan yang mobile. Para anggota Brigade 2 dari Divisi I Jatim yang bermarkas di Kediri masuk dalam pasukan tersebut. Brigade ini dipimpin oleh seorang perwira dan mantan tentara PETA, Soerachmad.

"Mereka yang sebelum agresi militer ditempatkan di Blitar harus mobile dan tidak bisa menjadi pasukan garnisun yang menjaga wilayah Blitar terus-terusan," jelas pria yang aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini.

Kekosongan wilayah yang ditinggalkan diisi oleh TRIP. Kala itu, TRIP bermarkas di Desa Gabru (sekarang Tegalasri), Wlingi, Kabupaten Blitar. Pasukan ini dipimpin oleh Isman yang ketika itu diberi pangkat militer mayor. Ketika ditugaskan, Isman langsung memberikan wewenang kepada jajarannya untuk mengisi jabatan Komando Distrik Militer (sekarang KODIM).

"Taktik mereka gerilya, sistem yang digunakan adalah pemerintahan militer. Nah konsep pertahanannya Werhkreise (Lingkaran Pertahanan), di mana tempat menjadi basis mereka selain menjadi sanctuary,  juga menjadi tempat hidup, berkreasi dan cari makan," ungkap Hasumi dalam kegiatan diskusi yang diadakan heuristik.id.

Serupa dengan Brigade 2, pasukan TRIP juga menjaga desa, melatih baca tulis masyarakat, mengelola kebun seperti kayu jati, candu bahkan perdagangan gelap lainnya. Apalagi jumlah kebun di Blitar terbilang banyak. Contohnya saja Blitar Utara yang pernah mempunyai 12 onderneming.

"Misal kebun yang saat ini masih ada itu di Penataran di Lereng Kelud Selatan, kemudian perkebunan Pijiombo di Lereng Kawi Selatan. Perkebunan Branggah Banaran itu perkebunan cengkeh, Kawisari dari komoditas utama yang diambil kopi," katanya.

Pimpinan TRIP, Isman melakukan bagi hasil keuntungan perkebunan dengan rasio 60:40:40. Rinciannya, 60 persen (untuk rakyat dan negara), 40 persen (TRIP) dan 40 persen lainnya untuk satuan. Besaran itu biasanya digunakan untuk membiayai perlengkapan senjata, sekolah dan santunan anggota yang cacat.

"Lalu apa ada perubahan dengan sebelumnya? Era sebelumnya (bagi hasil keuntungan perkebunan) untuk negara 40 persen, 40 untuk angkatan perang, 10 persen personel dan operasional perkebunan, 10 persen untuk rakyat. Inilah menjadi pemicu iri-irian," katanya.

Ketika kedaulatan sudah diraih Indonesia, pimpinan Brigade 2, Soerachmad menuntut pengelolaan kebun dikembalikan. Sayangnya, TRIP berada di bawah komando Markas Besar Tentara/Kementerian Pertahanan. Oleh sebab itu, surat permintaan Soerachmad tidak direspon oleh TRIP.

Menerima respon tersebut, Soerachmad marah lalu mengambil tindakan dengan mengirim empat batalyonnya. Masing-masing dua batalyonnya menyerang TRIP dari arah barat dan utara. Berdasarkan catatan sejarah, peristiwa ini menyebabkan empat orang tewas (dari sipil dan TNI), 19 orang ditawan dan beberapa orang China yang diduga mendukung TRIP juga ditangkap.

TRIP tidak bisa bertahan dari kepungan TNI karena kalah persenjataan dan jumlah pasukan. TRIP pun harus mundur mengosongkan kota dan pergi ke arah Wlingi untuk melakukan konsolidasi di Gabru (Tegalasri).

Perseteruan ini pun sampai ke telinga pimpinan divisi TRIP sehingga dikirimkan perwakilan Mobil Brigada (sekarang Brimob), Mohammad Yasin. Pasukan ini bertugas memisahkan TNI dan TRIP dengan menggunakan senjata.

"Didatangkan truk panser untuk memisahkan dan menjaga wilayah dari orang Brigade 2, itu ditaruh sebelah barat pom bensin Kebon Rojo, sebelah Timur dikosongkan. Sedangkan orang TRIP di wilayah Garum ke arah timur," katanya.

Konflik TRIP dan TNI telah menimbulkan banyak aksi kekerasan seperti penggeledahan dan penahanan. Uniknya, anak-anak TRIP yang ditangkap berhasil dibebaskan berkat demontrasi para ibu di Kediri. Mereka bebas dengan syarat seragam dan senjatanya ditanggalkan. Anak-anak TRIP juga diminta serius belajar di sekolah dan berjanji tak akan terlibat dalam ketentaraan kembali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement