Rabu 26 Aug 2020 00:36 WIB

Surabaya Upayakan Kesetaraan Sekolah Negeri dan Swasta

Pemkot Surabaya siapkan strategi mengupayakan kesetaraan sekolah negeri dan swasta.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Murid SD Muhamamadiyah 4 Surabaya mengoperasikan robot rakitannya. Pemkot Surabaya terus berupaya menghilangkan kesan adanya perbedaan antara sekolah negeri dan swasta.
Foto: Antara/Herman Dewantoro
[Ilustrasi] Murid SD Muhamamadiyah 4 Surabaya mengoperasikan robot rakitannya. Pemkot Surabaya terus berupaya menghilangkan kesan adanya perbedaan antara sekolah negeri dan swasta.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pemkot Surabaya terus berupaya menghilangkan kesan adanya perbedaan antara sekolah negeri dan swasta. Pemkot Surabaya telah menyiapkan berbagai strategi dalam mengupayakan kesetaraan tersebut. 

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Eri Cahyadi mengatakan jika hanya mengandalkan sekolah negeri saja, tidak akan cukup menampung siswa yang ada di Kota Pahlawan. “Nah, ketika masuk swasta maka infrastrukturnya juga harus sama, termasuk laboratorium dan sebagainya harus sama, sehingga kita akan support betul ke depannya. Dengan catatan, sekolah swasta itu harus menaikkan gradenya,” kata Eri di Surabaya, Selasa (25/8).

Baca Juga

Guna meningkatkan kualitas sekolah swasta, kata Eri, harus disepakati bahwa rombongan belajar (rombel) setiap sekolah negeri dan swasta sebanyak 32 siswa, dengan masing-masing kelas sebanyak maksimal 11 ruangan kelas. Artinya, kelas 1 ada 11 kelas, kelas 2 ada 11 kelas, dan kelas 3 juga terdiri dari 11 kelas.

Bagi sekolah yang rombel-nya di atas 32 siswa, ia mengatakan, pemkot berupaya mencarikan solusinya. Salah satunya dengan menambah kelas lagi. 

Penambahan kelas itu bukan untuk menerima siswa baru, melainkan untuk menampung siswa yang Rombel-nya melebihu kapasitas. Misalnya, ada sekolah yang menerima rombel 40 siswa, 8 siswa di rombel tersebut harus pindah ke kelas yang baru dibangun.

“Kemarinnya kita sudah hitung-hitungan dengan MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) dan pihak guru, jika siswanya sampai 40 orang, guru merasa agak kesulitan untuk menguasai muridnya, sehingga Rombel 32 itu sudah cukup,” kata dia.

Selain itu, kata dia, mulai 2019, Pemkot Surabaya sudah menghitung Bopda berdasarkan rombel, bukan per kepala lagi. Karena itu, dia berharap kebijakan ini akan bisa menyelesaikan masalah dan nantinya tidak ada perbedaan lagi antara sekolah negeri dan swasta.

Eri juga menjelaskan, harus ada keterbukaan antara pemerintah dan pihak sekolah. Terbuka dalam hal jumlah siswa yang akan masuk ke sekolah masing-masing, baik negeri maupun swasta. 

Apalagi, saat ini Dispendukcapil Surabaya sudah menyiapkan data berapa anak SD yang lulus dan akan masuk ke jenjang SMP. Untuk itu, sejak awal sudah bisa dihitung apakah sekolah di suatu daerah atau kecamatan itu kurang atau sudah cukup.

“Jadi, tahun 2021 Bulan Juli nanti, akan ada data dari Dispendukcapil tentang berapa anak yang lulus SD dan akan masuk ke SMP. Insya Allah dengan data itu kita akan tahu sebaran siswa itu, sehingga posisinya nanti akan menerima jumlah siswa sama,” ujarnya.

Eri mengatakan, begitu ada sekolah di salah satu kecamatan yang kurang, akan dibangunkan sekolah atau dengan menambah kelas baru. Dengan catatan, tidak mengurangi jumlah siswa di sekolah swasta. 

“Melalui berbagai cara itu, mungkin kita akan bisa menyelesaikan wajib sekolah 9 tahun,” kata dia.

Eri menambahkan, Pemkot Surabaya juga terus mengembangkan kerja sama dengan pihak pengusaha dalam hal membantu siswa. Bentuknya, para pengusaha itu memegang anak asuh sehingga pengusaha itu membantu anak asuhnya dalam biaya pendidikannya.

“Ini sudah berlaku dan akan terus kami kembangkan, sehingga semua pihak berkontribusi dalam mengembangkan pendidikan di Kota Surabaya,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement