Selasa 25 Aug 2020 14:48 WIB

Cerita Muslim Rohingya Alami Diskriminasi Politik di Myanmar

Muslim Rohingya kesulitan untuk maju atau terjun di perpolitikan Myanmar.

Pengungsi etnis Rohingya berada di atas kapal KM Nelayan 2017.811 milik nelayan Indonesia di pesisir Pantai Seunuddon. Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, Aceh. (24/6/2020). Sebanyak 94 orang pengungsi etnis rohingya, terdiri dari 15 orang laki-laki, 49 orang perempuan dan 30 orang anak-anak  ditemukan terdampar sekitar 4 mil dari pesisir Pantai Seunuddon.
Foto: ANTARA/RAHMAD
Pengungsi etnis Rohingya berada di atas kapal KM Nelayan 2017.811 milik nelayan Indonesia di pesisir Pantai Seunuddon. Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, Aceh. (24/6/2020). Sebanyak 94 orang pengungsi etnis rohingya, terdiri dari 15 orang laki-laki, 49 orang perempuan dan 30 orang anak-anak ditemukan terdampar sekitar 4 mil dari pesisir Pantai Seunuddon.

REPUBLIKA.CO.ID,' YANGON  -- Calon politisi Abdul Rasheed lahir merupakan salah satu dari sedikit anggota minoritas Muslim Rohingya yang memiliki kewarganegaraan Myanmar.

Ayahnya adalah seorang pegawai negeri.

Baca Juga

Tetapi ketika negara itu melakukan pemilihan umum pada November, pengusaha ini tidak bisa mencalonkan diri sebagai kandidat karena para pejabat menuduhnya berasal dari luar negeri.

Rasheed adalah di antara setidaknya belasan warga Myanmar dari minoritas Muslim Rohingya yang telah melamar menjadi kandidat dewan dalam pemilihan umum 8 November. Mereka berharap untuk terjun ke politik di bawah pemerintahan demokratis baru yang dipimpin oleh peraih Nobel Aung San Suu Kyi.

Enam dari mereka ditolak karena dinilai tak bisa membuktikan orang tuanya adalah warga negara Myanmar pada saat lahir. Padahal ini adalah sebuah persyaratan di bawah undang-undang pemilu.

Pemilu adalah ujian penting lainnya bagi Myanmar karena membuat transisi dari kekuasaan militer. Tetapi kelompok hak asasi mengatakan diskualifikasi terhadap kandidat Rohingya menunjukkan reformasi sangat terbatas.

"Setiap orang di Myanmar, terlepas dari etnis atau agama mereka, harus memiliki kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam pemilihan," kata Tun Khin, kepala Organisasi Rohingya Burma Inggris, mendesak donor internasional untuk menghentikan pendanaan ke badan pemilihan.

Di apartemennya di Yangon, Rasheed membolak-balik banyak kartu identitas dan surat.

"Kami memiliki semua dokumen yang dikeluarkan pemerintah, dan mereka tidak menerima kenyataan bahwa orang tua saya adalah warga negara. Saya merasa sedih dan prihatin," katanya.

Myanmar tidak mengenal istilah Rohingya atau komunitasnya sebagai kelompok etnis asli.

Sebaliknya, mereka diejek sebagai "Bengali" atau imigran ilegal dari Bangladesh, meskipun telah menelusuri sejarah mereka di Negara Bagian Rakhine Myanmar selama berabad-abad.

Pemerintah militer berturut-turut yang memerintah Myanmar melucuti dokumen identitas Rohingya. Ini membuat banyak orang tidak memiliki bukti asal-usul mereka.

Lebih dari 730 ribu orang melarikan diri dari Myanmar pada 2017 setelah tindakan keras militer yang menurut PBB cenderung mengarah ke genosida.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement