Ahad 23 Aug 2020 21:21 WIB

Masjid Al-Ikhlas Bandara Ngurah Rai Inspirasi Ridwan Kamil

Keindahan cahaya di dalam masjid berbeda-beda tiap waktu shalat tiba.

Masjid Al-Ikhlas Bandara Ngurah Rai
Foto: ibenimages.com
Masjid Al-Ikhlas Bandara Ngurah Rai

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Masjid kubus itu sekilas mengingatkan kita akan Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah. Apalagi saat suara azan menggema memanggil umat Muslim untuk datang beribadah.

Al-Ikhlas merupakan masjid megah berbentuk kubus yang berada di lingkungan Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, Bali. “Dulu itu kan awalnya masjid juga di bandara, tapi karena kena perluasan, ya dipindahkan dan dibuatkan masjid baru,” kata Ridwan Kamil, arsitek Masjid Al Ikhlas yang diresmikan pada Juni 2014.

Awalnya, masjid kecil itu ada di dalam kompleks perkantoran operator bandara PT Angkasa Pura di Denpasar. Sejalan dengan proyek pengembangan Ngurah Rai menjadi bandara internasional, masjid ini pun direnovasi dari yang awalnya hanya 144 meter persegi (m2) menjadi 503 m2 di atas lahan seluas 2.963 m2. Kini, masjid itu berdaya tampung 700-800 jamaah.

Mirip Ka'bah

Ada sejumlah keunikan Masjid Al-Ikhlas yang memfasilitasi peribadahan pengunjung Muslim di sekitar Bandara Ngurai Rai ini. Pertama, masjid ini tidak memiliki kubah, mirip Ka'bah berbentuk kubus. Masjid ini tidak didesain dengan ornamen yang macam-macam, tetapi pesonanya memunculkan filosofi Islam yang kental.

Daya tarik masjid ini, kata sang arsitek, terletak pada suasana tenang. “Saya suka dengan suatu konsep yang sederhana dan memberikan ketenangan bagi orang yang ada di dalamnya,” kata tamatan ITB yang kini menjabat gubernur Jawa Barat itu.

Bentuk kubus atau persegi adalah salah satu simbol dari meditasi yang diajarkan kaum sufi. Ini bermakna ‘menunggu' atau 'pengendalian.' Ada juga yang mengatakan kubus adalah bentuk tiga dimensi yang paling sederhana.

Kubus juga menggambarkan kerendahan hati manusia dan kekaguman menusia pada keagungan Allah yang keindahannya tiada tandingannya di dunia ini, mengalahkan keindahan arsitektur apa pun di Bumi.

Kedua, masjid ini ramah lingkungan. Selain menghadap ke lapangan rumput hijau dan taman di sekitarnya, masjid ini juga dikelilingi pepohonan.

Menurut Ridwan Kamil, rancangan masjid sebenarnya sama dengan masjid-masjid lainnya. Namun, konsep masjid ini lebih kepada bangunan modern. Selain itu, karena lokasi masjid ini di Bali, ia tak ingin melepaskan ciri khas Bali: kering dan tropis. “Jadi, untuk temanya itu saya beri nama ‘Berpuisi dalam Cahaya’,” katanya.

Pergantian cahaya

Keunikan ketiga adalah desain dindingnya yang berkonsep ecobuilding. Ridwan Kamil mewujudkan temanya di sekujur masjid. Ia membuat lubang-lubang alami dengan pola-pola yang selain berfungsi sebagai ventilasi udara, juga memiliki nilai seni. Dengan begitu, masjid tidak membutuhkan pendingin ruangan, apalagi lampu penerangan pada siang dan sore hari.

Pada setiap waktu sholat yang berbeda, cahaya yang masuk alami berbeda-beda pula. “Saya senang kalau sholat itu mengatur cahayanya alami,” katanya. Ini, menurut dia, menjadi bagian dari kalimat Allah bahwa keindahan yang paling istimewa itu datang dari Allah.

Keempat, warna masjid ini klasik, yakni abu-abu serupa warna batu mengadopsi Ka'bah yang terbuat dari batu-batu keras berwarna kelabu. Ada lis pinggir merah bata pada setiap kotak bangunan masjid ini.

Pada malam hari, dari celah-celah dindingnya akan terpancar cahaya dari lampu penerangan di dalam. “Maunya di masjid itu cahaya keindahannya ada di pagi, siang, beda, begitu juga menjelang sore,” ungkapnya.

Masjid Al-Ikhlas bukanlah masjid kubus pertama yang menjadi hasil rancangan Ridwan. Ada Masjid Al-Irsyad di Kotabaru, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat yang juga menyerupai kubus dan diresmikan pada 2010. Masjid Al-Irsyad masuk ke dalam kategori lima besar Building of the Year 2010 oleh National Frame Building Association.

Perbedaannya, arsitektur celah dinding Masjid Al-Irsyad membentuk tulisan dua kalimat syahadat, sedangkan Masjid Al-Ikhlas hanya berupa celah biasa. Tulisan ‘Laa Ilaaha Illallah Muhammadan Rasulullah’ pada Masjid Al-Ikhlas dipahatkan pada sebuah perisai yang ditempatkan di sebuah menara di samping kiri pintu masuk masjid ini.

Yono (52 tahun) yang menjadi salah satu marbot masjid ini mengatakan, arsitektur Masjid Al-Ikhlas disesuaikan dengan budaya lokal di Bali. Masjid ini sekaligus sebagai gambaran nyata atas keragaman dan toleransi umat beragama di Pulau Dewata itu.

Yang pasti, kata Ridwan Kamil, inspirasi sosok masjid ini merupakan perjalanan hidupnya selama 17 tahun. “Itulah inspirasi saya, tetapi yang pasti karena lihat kondisi di Bali juga,” katanya.

 

                                          ***

Tantangan Jadi 'Penghuni' Bandara

Tak berbentuk masjid tradisional dan ada di dalam kompleks bandara internasional yang buka 24 jam, Masjid Al-Ikhlas menghadapi tantangan berbeda. Yono, marbot masjid,  mengaku acap kali menghadapi pengunjung yang berlaku aneh.

“Pernah sekelompok muda-mudi bawa minuman keras masuk ke lingkungan masjid. Ada juga pengunjung memakai celana pendek, tatoan, menumpang tidur dan tidak mau keluar ketika waktu shalat,” ujar Yono kepada Republika.

Pria asli Betawi ini bahkan pernah mendapati pengunjung yang mengaku ingin iktikaf di dalam masjid, namun akhirnya mereka memasang tenda dan tidur di dalamnya. Bahkan, ada pasangan pria dan wanita yang beristirahat bersama di lingkungan masjid tanpa diketahui status keduanya.

Pengurus masjid pun sempat beberapa kali kecolongan. Masjid ini pernah kehilangan kotak amal beserta isinya. Pengelola pun pernah ditipu oleh pengunjung yang mengaku fakir miskin dan minta dibelikan tiket pulang, ada yang ke Semarang, Surabaya, juga Yogyakarta. Setelah dibelikan tiket bus, yang ditolong ternyata menjual tiket itu kembali.

Yono mengakui, pengunjung Masjid Al-Ikhlas selalu ramai, khususnya pada Jumat. Demi keamanan pengunjung, setiap penyelenggaraan sholat Jumat, pengelola masjid mendapatkan bantuan penjagaan dari dua orang pecalang.

Pecalang adalah satuan petugas keamanan tradisional di Bali yang bertugas membantu dan mengamankan berbagai acara ritual umat beragama. Mereka memakai udeng di kepala, kemeja putih, kain poleng, yakni kain kotak-kotak berbentuk persegi dengan keris terhunus di pinggangnya dan ada juga yang ditambah rompi bertuliskan 'Pecalang Desa Adat’.

Setiap pekannya, hasil infak pengunjung Masjid Al-Ikhlas mencapai Rp 7 juta-Rp 8 juta, bahkan pernah mencapai Rp 12 juta. Uang ini, kata Yono, selanjutnya dialokasikan pengelola masjid untuk menolong fakir miskin, anak yatim, serta dana pendidikan orang-orang kurang mampu di sekitar bandara. Sebagiannya digunakan untuk operasional karyawan. Masjid ini juga rutin mengadakan pengajian pada Selasa, Jumat, dan Ahad.

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Minggu, 14 Desember 2014

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement