Ahad 23 Aug 2020 21:03 WIB

Masjid Al Azhar Mesir Mempertahankan Tradisi Keilmuan Islam

Al-Azhar lumbung pencetak para cendekiawan.

 Suasana Masjid Al-Azhar yang terletak di kawasan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.   (Republika/Agung Supriyanto)
Suasana Masjid Al-Azhar yang terletak di kawasan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pada saat Dinasti Abbasiyah melemah, muncullah kerajaan-kerajaan kecil di berbagai wilayah dengan beragam produk peradaban mereka, tak terkecuali di bidang pendidikan. Dinasti Fatimiyah di Mesir, seperti dikutip Van Houve dalam Ensiklopedia Islam, mendirikan Masjid al-Azhar pada 950- 972 M yang diprakarsai oleh Jenderal Jauhar as-Shiqili.

Al Azhar pada eranya, ungkap Samsul Munir Amin dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam, menjadi pusat ilmu pengetahuan. Banyak Muslim yang melakukan diskusi keilmuan di masjid ini. Tempat ini, menjadi tempat bagi orang-orang untuk mendengarkan kisah dari orang yang ahli bercerita. Berkembangnya ilmu pengetahuan pada saat itu, membuat Mesir menjadi pusat peradaban dan pengembangan ilmuilmu keislaman.

Sebenarnya, masjid ini diperuntukkan bagi Dinasti Fatimiyah yang sedang bersaing dengan kekhalifahan di Baghdad. Berdirinya Dinasti Fatimiyah memang dilatarbelakangi melemahnya Dinasti Abbasiyah. Kegemilangan Dinasti Fatimiyah yaitu ketika pusat pemerintahan telah berpindah ke Kairo.

Kemudian dinasti ini berkembang di berbagai bidang, seperti keilmuan, perdagangan, dan keagamaan. Mengutip Muhammad Atiyah al-Abrasyi dalam al-Tarbiyah al- Islamiyah, Dinasti Fatimiyah mengajarkan Mazhab Syiah kepada kader-kader pendakwahnya. Kemudian para pendakwah ini yang bertugas meyakinkan masyarakat atas kebenaran Mazhab Syiah.

Berkembangnya Mazhab Syiah ini, secara tak langsung mengancam otoritas Abbasiyah Sunni. Khalifah Fatimiyah meminta secara khusus kepada para dai-dainya untuk melakukan penyebaran ideologi Syiah. Mereka mempraktikkannya tak hanya dalam sebuah gerakan politik, namun juga keagamaan.

Abuddin Nata dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, menjelaskan, ada program-program yang dirancang khusus oleh kaum Dinasti Fatimiyah dalam melakukan doktrin. Pertama, pelaksanaan pengajaran serta pembentukan undang-undang. Kedua, dakwah secara rahasia.

Kekhalifahan Fatimiyah ingin terus memperbanyak dai-dai. Kemudian peran dari masjid al-Azhar meningkat, tak hanya sebagai rumah ibadah. Melainkan sebagai lembaga pendidikan yang terorganisasi.

Lembaga pendidikan ini lalu dikembangkan menjadi corong untuk propaganda kekuasaan kekhalifahan. Sekaligus sebagai alat penyebaran doktrin ajaran Syiah. Sementara untuk proses belajar mengajar, al-Azhar diatur oleh pengelola madrasah. Menurut Philip K Hitti dalam History of The Arabs, saat itu, al-Azhar adalah sebuah madrasah pendidikan tingkat tinggi.

Mahmud Yunus dalam Sejarah Pendidikan Islam mengungkapkan, sistem belajar mengajar di al-Azhar terbagi menjadi empat. Pertama, kelas umum diperuntukkan bagi orang yang datang ke al-Azhar untuk mempelajari Alquran dan tafsirannya.

Kedua, kelas para mahasiswa Universitas al-Azhar, yaitu kuliah dengan para dosen yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabannya. Ketiga, kelas Darul Hikam, yaitu kuliah formal yang diberikan para mubaligh. Keempat, kelas non-formal, yaitu kelas untuk pelajar wanita.

Proses belajar mengajar, masih menggunakan metode melingkar. Selain itu, pelajar bisa bebas memilih siapa saja guru-guru. Sistem pembelajaran sendiri, lebih menekankan pada model diskusi. Baik diskusi antar pelajar maupun kepada guru. Namun, guru lebih banyak memberikan peran sebagai fasilitator.

Ia juga bertugas memberikan materi-materi yang lebih mendalam mengenai apa yang sedang didiskusikan. Pada masa pemerintahan Khalifah Dinasti Fatimiyah, al-Aziz Billah, al- Azhar kemudian dijadikan Universitas Islam yang mengajarkan ilmu- ilmu agama, ilmu akal (logika), dan ilmu umum lainnya.

Sang khalifah bahkan menyediakan tempat tinggal untuk para fuqaha (tenaga pendidik). Khalifah juga menanggung semua kebutuhan para ahli fikih. Hasilnya, al-Azhar melahirkan begitu banyak ulama yang tak diragukan lagi aspek keilmuannya. Melahirkan orang-orang yang banyak menyumbangkan ilmu pengetahuan keislaman.

Lembaga pendidikan ini mempunyai peranan penting dalam perkembangan pendidikan di Eropa. Perguruan ini mencontohkan pengembangan tradisi dialog dan debat serta penjurusan dua fakultas.

Menurut Nasser Rabbat dalam Al-Azhar Mosque: An Architectural Chronicle of Cairo’s History, al-Azhar mengalami sebuah reformasi pada 1872, ketika Inggris menduduki Mesir. Salah satunya yaitu praktik perekrutan serta ujian untuk para siswa.

Naskah-naskah masjid juga dikumpulkan menjadi satu, dan diletakkan di perpustakaan. Kebersihan dan kesehatan bagi para murid diperhatikan. Sistem ujian terstruktur dikembangkan. Al-Azhar menarik siswa tak hanya dari Mesir, namun dari seluruh dunia, bahkan Asia Tenggara.

Di bawah pemerintahan Raja Fuad I, dua undang-undang disahkan. Tujuannya untuk mereorganisasi struktur pendidikan di al-Azhar. Pertama, pada 1930, yaitu membagi sekolah menjadi tiga departemen, bahasa Arab, syariah, dan teologi. Masing-masing departemen, terletak di luar gedung masjid. Selain itu, ujian formal dilakukan untuk mendapatkan gelar dari satu di antara tiga bidang studi tersebut. 

***

Beralih dari Syiah ke Sunni

Menurut Ensiklopedia Islam Indonesia ketika kekhalifahan Fatimiyah runtuh, terjadi perubahan mendasar di al-Azhar. Corak Syiah yang telah bertahan hampir 200 tahun telah berubah. Perubahan ini terjadi menyusul al-Azhar yang diambil alih oleh Salahuddin al-Ayyubi. Ia kemudian menjadikan al-Azhar sebagai madrasah-masjid yang berorientasi Sunni.

Bani Fatimiyah selalu menekankan pengajaran di al-Azhar mengenai filosofis dan teologis. Namun ketika Dinasti Ayyubi berkuasa, pemuka Sunni ini memfokuskan pengajaran fikih di semua madrasah, termasuk al-Azhar.

Pengambilalihan ini, sebenarnya mereduksi posisi al-Azhar yang berorientasi supralokal menjadi lembaga yang berwawasan sempit. Namun, karena peranan Kairo yang strategis, dalam perjalanan sejarah Islam, akhirnya bisa diperoleh kembali dan dipertahankan, khususnya pada zaman modern.

Kemudian, terjadi keseragaman kurikulum, termasuk pengembangan materi yang tidak melulu mempelajari agama murni. Seperti retorika, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu-ilmu pasti, dan lain-lain mulai diajarkan. 

 

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, Minggu, 28 Desember 2014

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement