Senin 24 Aug 2020 06:21 WIB

Era Kebiasaan Baru, Bisnis Hotel Dinilai Masih Lesu

Okupansi hotel di Tanah Air masih rendah, di bawah 30 persen atau sekitar 20 persen

Rep: iit septyaningsih/ Red: Hiru Muhammad
Petugas hotel (kanan) mengenakan alat pelindung wajah (Face shield) dan masker berbincang dengan seorang tamu di Hotel Oasis, Banda Aceh, Aceh, Rabu (15/7/2020). Untuk membangkitkan kembali sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang terdampak pandemi COVID-19, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) meminta pengusaha hotel dan restoran menerapkan protokol kesehatan sesuai standar Cleanliness, Health, Safety and Environmental Sustainability (CHSE).
Foto: ANTARA/AMPELSA
Petugas hotel (kanan) mengenakan alat pelindung wajah (Face shield) dan masker berbincang dengan seorang tamu di Hotel Oasis, Banda Aceh, Aceh, Rabu (15/7/2020). Untuk membangkitkan kembali sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang terdampak pandemi COVID-19, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) meminta pengusaha hotel dan restoran menerapkan protokol kesehatan sesuai standar Cleanliness, Health, Safety and Environmental Sustainability (CHSE).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Bisnis hotel dan restoran dinilai masih lesu, meski telah memasuki era adaptasi kebiasaan baru atau new normal. Beberapa hotel dan restoran bahkan belum beroperasi atau tutup. 

Wakil Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Sudrajat menyatakan, masih lesunya industri hotel dan restoran dikarenakan masyarakat masih khawatir melakukan perjalanan jauh. Apalagi bepergian menggunakan pesawat. 

"Sirkulasi udara dalam pesawat membuat orang masih khawatir," ujarnya saat dihubungi Republika pada Ahad (23/8). Bisnis restoran pun, kata dia, belum bisa pulih maksimal sebab terdapat beberapa pembatasan di mall dan tempat rekreasi. 

Pria yang juga Founder De Solo Boutique Hotel dan Breso Resto & Coffee itu menambahkan, saat ini okupansi hotel di Tanah Air masih rendah, yakni di bawah 30 persen atau sekitar 20 persen. Meski begitu, lanjutnya, saat libur panjang beberapa waktu lalu, terdapat daerah yang mengalami peningkatan okupansi cukup besar. 

 

"Seperti di Jogja, okupansinya mencapai 60 persen pas libur panjang. Itu yang kita harapkan, pemerintah dan masyarakat mulai kembangkan destinasi dalam negeri," tegas Sudrajat. 

Menurutnya, saat ini jangan terlalu berharap pada wisatawan mancanegara. Sebab, mereka juga masih khawatir naik pesar, pemerintah Indonesia juga menyatakan tidak menerima wisatawan asing sampai akhir 2020.

"Jadi mari kita galakkan wisatawan domestik.  Misal orang dari Medan ke Brastagi, dari padang ke Bukittinggi, dari Jakarta ke Anyer, Bandung, Solo, Semarang, Surabaya, Bayuwani, dari Makassar ke Toraja, dari Manado ke Bunaken. Itu yang bisa dilakukan wisatawan domestik," tutur dia. 

Dirinya mengakui spending atau pengeluaran wisatawan domestik memang tidak terlalu besar. Namun jika banyak yang melakukan, maka bisa menghasilkan pendapatan cukup tinggi dan meramaikan restoran serta hotel di berbagai daerah. "Ini multiplier efeknya besar. Ekonomi juga bisa tumbuh serta lapangan kerja bisa terserap kembali," ujar Sudrajat. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement