Ahad 23 Aug 2020 03:15 WIB

KIKA: Serangan Siber terhadap Kritik Upaya Bungkam Kebebasan

Serangan siber merupakan bentuk pelanggaran HAM.

dr Pandu Riono
Foto: Tangkapan layar TVOne.
dr Pandu Riono

REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Para akademisi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Serikat Pengajar HAM (Sepaham) Indonesia mengatakan, serangan siber terhadap kritik akademik merupakan upaya untuk membungkam kebebasan akademik.

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik Dr Herlambang P Wiratraman mengatakan, dalam beberapa hari terakhir terjadi peretasan dan bentuk serang siber yang menyasar ke ahli/akademisi (Epidemiolog UI, Dr. Pandu Riono), lembaga riset (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives/CISDI) dan pers (Tempo).

Akun Twitter Pandu, @dripriono, diretas Rabu (19/8) malam, setelah mengkritik hasil riset obat kombinasi Covid-19 oleh tim Universitas Airlangga bekerja sama dengan TNI dan Badan Intelejen Negara/BIN dan juga peretasan lembaga riset CISDI.

Herlambang dalam rilis yang diterima Antara di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (22/8), mengatakan, serangan siber demikian, bukanlah pertama terjadi. Peretasan, doxing, persekusi, dan bentuk teror lainnya melalui media siber terus berulang yang intensitasnya menguat pada masa masa kini dan semakin terlihat pada masa pandemi.

Dia menilai, upaya penuntasan kasus demikian tidak pernah diungkap tuntas. Sehingga, hal itu memperlihatkan kesan ketidakberdayaan negara melawan serangan siber dan kebijakan pemerintah dikritik karena belum menunjukkan efektivitasnya.

Kematian meningkat dan mencapai 6.418 orang sehingga fatalitas Indonesia tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Dengan total kasus positif sebanyak 147.211 orang (per 20 Agustus 2020), jumlah dokter dan perawat yang meninggal setidaknya sebanyak 100 orang (61 dokter dan 39 perawat per 12 Juli 2020) yang berdampak pada layanan kesehatan terganggu dan mengancam pemenuhan hak masyarakat atas kesehatan.

"Dalam kasus serangan siber terhadap Pandu Riono, CISDI, dan Tempo merupakan ancaman pembungkaman kebebasan ekspresi dan berpendapat, sekaligus kebebasan pers," ucap Dosen Hukum Unair Surabaya itu.

Menurutnya, apa yang dialami Pandu juga menjadi ancaman terhadap kebebasan akademik yang sesungguhnya mencari kebenaran dan saintifikasi dalam koridor keilmuan. Upaya tersebut dilindungi oleh Pasal 28C UUD NRI 1945 dan pula Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) maupun Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR).

"Upaya peretasan akun media sosial terhadap Pandu Riono merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan serangan terhadap kebebasan akademik," tuturnya.

Untuk itu, lanjut dia, KIKA dan Sepaham Indonesia menyatakan sikap bahwa serangan siber jelas merupakan bentuk pelanggaran HAM, khususnya kebebasan ekspresi, kebebasan akademik dan kebebasan pers. Pembiarannya dan tiadanya penegakan hukum (impunitas) justru memperparah situasi ancaman tersebut.

Kedua, mendukung setiap upaya akademisi dan institusi perguruan tinggi manapun dan dalam bentuk apapun untuk berpartisipasi serta mengembangkan saintifikasi dalam penanggulangan pandemi COVID-19 berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan akademik;

Ketiga, mengecam setiap intervensi dan politisasi terhadap aktifitas santifikasi, dan memastikan kerja sama dengan lembaga-lembaga non-akademik, tidak menekan otonomi institusi akademik maupun kebebasan akademik.

Keempat, mendesak semua pihak untuk berkomitmen menghormati Undang-Undang Dasar Negara RI (pasal 28C) dan Prinsip kewajiban HAM negara (Pasal 28I ayat 4), serta Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik yaitu Prinsip Kelima: Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.

Kelima, mendesak kepada semua pihak yang terlibat dalam riset Covid-19 maupun saintifikasinya, menjaga prinsip keterbukaan, akuntabel termasuk kesediaan untuk kerjasama dalam mengembangkan tradisi kebebasan dan tanggung jawab akademik, sehingga menjadi kekuatan bersama dalam menanggulangi pandemi.

Keenam, menuntut negara melindungi dan menghormati kebebasan ekspresi, berpendapat, kebebasan pers serta kebebasan akademik, karena kritik di ruang publik dengan kompetensinya termasuk saat mengkritisi penanganan pandemi COVID-19 menjadi diperlukan, dan bagi pihak aparat penegak hukum, harus berdaya mengusut tuntas dan menegakkan hukum atas serangan siber.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement