Sabtu 22 Aug 2020 12:00 WIB

Koresponden: Dugaan Masjid Xinjiang Dibongkar tak Berdasar

Menurut koresponden China ini, jumlah masjid di Xinjiang telah bertambah.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Ani Nursalikah
Koresponden: Dugaan Masjid Xinjiang Dibongkar tak Berdasar. Seorang pria berjalan menuju masjid untuk melaksanakan shalat di sebuah masjid di kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.
Foto: Thomas Peter/Reuters
Koresponden: Dugaan Masjid Xinjiang Dibongkar tak Berdasar. Seorang pria berjalan menuju masjid untuk melaksanakan shalat di sebuah masjid di kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.

REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG -- Seorang Koresponden China di Bangladesh Post, Md Enamul Hassan menilai dugaan pembongkaran masjid di Xinjiang, China tak beralasan. Dilansir di People's Daily Online, Jumat (21/8), Xinjiang telah menjadi nama yang banyak dibicarakan di seluruh dunia karena frekuensi berita utama yang menarik perhatian tentang wilayah tersebut.

Menurut Enamul, wilayah bagian barat laut China telah lama digambarkan di media global sebagai sarang pelanggaran hak asasi manusia, penindasan terhadap Uighur, dan pembongkaran masjid dan tempat-tempat suci Islam. Namun demikian, dia menilai, banyak dari laporan media tentang Xinjiang yang telah menyebabkan keributan global akhirnya dianggap palsu selama bertahun-tahun.

Baca Juga

"Laporan perusakan masjid dan situs Islam akhirnya terbukti keliru, karena kebenaran tidak bisa selamanya disembunyikan," ujarnya. 

Sekarang, kata dia, kebenaran telah terungkap dan menjadi sangat jelas laporan media yang dipermasalahkan menggunakan gambar satelit dari rekonstruksi masjid dan situs Islam untuk mendukung klaim mereka tentang penghancuran tempat-tempat suci Islam. Sementara itu, banyak jurnalis asing yang juga mengunjungi situs tersebut dan melaporkan klaim penghancuran mereka adalah kebohongan yang mencolok.

Tetapi pengungkapan kebenaran tertinggi tidak mencegah outlet media lain datang dengan lebih banyak cerita palsu tentang pembongkaran masjid di Xinjiang. Enamul menyebut, kali ini, Radio Free Asia (RFA), outlet media yang berbasis di Washington DC, yang didanai pemerintah Amerika Serikat, melaporkan toilet umum didirikan di lokasi masjid yang dibongkar di kota Atush di Xinjiang.

Padahal, media telah menerbitkan laporan berjudul 'Toilet umum yang didirikan di bekas situs masjid desa Xinjiang yang dihancurkan' di situsnya pada 13 Agustus, sebagaimana dikutip dari seorang pejabat lokal anonim sebagai satu-satunya sumber ceritanya. Untuk membantu orang-orang memahami kurangnya keaslian laporan tersebut, pihaknya ingin menyertakan beberapa data tentang jumlah masjid di Xinjiang.

Bertentangan dengan tuduhan yang dibuat dalam laporan tersebut, Statista.com menyebutkan jumlah masjid di Xinjiang meningkat. Berdasarkan data yang dihimpun Enamul, pada 2013 diperkirakan ada sekitar 24.300 masjid di wilayah tersebut.

Pada 1978, jumlah masjid adalah 2.930 dan 22.949 pada 1990. Sejak 1995, jumlah ini meningkat tajam. Menurut Wikipedia, jumlahnya sekarang mendekati 25 ribu unit.  

Informasi di atas menurutnya lebih dari cukup untuk membuktikan laporan RFA sama sekali tidak beralasan. Ini juga berfungsi sebagai pembuka mata orang-orang sehubungan dengan keaslian cerita lain tentang Xinjiang. Selain itu, total 57 negara memuji perlakuan China terhadap Uighur di hadapan komite Hak Asasi Manusia Majelis Umum PBB tahun lalu. 

Setelah kunjungan ke Xinjiang pada Maret 2019 dilakukan, Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga memuji China karena 'memberikan perhatian kepada warga Muslimnya'. Pujian global semacam itu atas perlakuan China terhadap Uighur itu, menurut dia, adalah kesaksian yang merongrong keyakinan laporan media yang memfitnah China di wilayah barat lautnya. 

"Mereka juga telah membuktikan Xinjiang telah lama menjadi korban mudah propaganda dari pasukan anti-China. Umat ​​Islam di seluruh dunia harus ingat kekuatan ini tidak lebih dari tentara salib dan pembantai pencapaian peradaban Islam," ujarnya.  

Dia menganalisa bahwa saat ini mereka tengah mencoba membangkitkan sentimen suci umat Islam dengan mengarang dan menyebarkan rumor tentang Xinjiang dan Uighur melawan China, dan bermimpi untuk menahan negara. Ia ingin mendorong kaum Muslimin tidak tertipu dengan mempercayai cerita-cerita yang menggambarkan penderitaan orang Uighur. 

"Mereka tidak boleh mengambil semua yang mereka baca atau lihat di media tentang Xinjiang dengan keyakinan buta, karena ada terlalu banyak contoh laporan media yang terbukti salah," ujarnya. 

Di sisi lain Enamul menjabarkan, tidak ada contoh yang menjelaskan hal ini lebih baik daripada invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003. Presiden Amerika Serikat saat itu George W. Bush menginvasi Irak berdasarkan berita palsu bahwa negara Arab menyembunyikan senjata pemusnah massal di suatu tempat di gurun Irak. Berita palsu itu berdasarkan laporan yang disiapkan oleh Central Intelligence Agency (CIA). 

Intelijen Amerika Serikat tidak pernah menemukan senjata pemusnah massal di Irak, tetapi negara itu hancur dan lebih dari satu juta warga Irak tewas dalam perang tersebut. "Rakyat Irak telah membayar mahal untuk berita palsu ini. Sebab, kata dia, menempatkan informasi ini ke dalam perspektif," ujarnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement