Sabtu 22 Aug 2020 05:31 WIB

Penelitian Obat Covid-19 Tetap Harus Diapresiasi

Unair, TNI AD, dan BIN klaim 85 persen sampel yang diujicobakan dengan obat sembuh.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito menggelar konferensi pers atas temuan obat Covid-19 racikan tim Unair, TNI AD, dan BIN.
Foto: ANTARA/Nova Wahyudi
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito menggelar konferensi pers atas temuan obat Covid-19 racikan tim Unair, TNI AD, dan BIN.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan, racikan obat Universitas Airlangga (Unair) bersama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk penanganan Covid-19 tidak lolos uji klinis. Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito, menjelaskan, hasil pengujian yang didapatkan, obat kombinasi Unair, TNI AD, dan BIN, termasuk dalam kategori obat keras. "Sehingga obat tersebut berisiko menimbulkan efek samping," ucap Penny dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (19/8).

Menanggapi hal itu, pakar hukum Prof Indriyanto Senoadji mengatakan, seharusnya penilitian inovatif dan progresif atas uji temu obat Covid-19 milik Unair bersama BIN dan TNI AD harus diapresiasi. Hal ini karena temuan obat tersebut sebagai buah prestasi kebanggaan anak bangsa dan negara.

Menurut Indriyanto, klaim obat corona tersebut juga merupakan hasil dari kombinasi sejumlah obat yang telah diuji dalam tiga tahap. "Tim Unair, TNI AD, dan BIN mengeklaim 85 persen sampel yang diujicobakan dengan obat tersebut sembuh berdasarkan hasil tes PCR. Proses penyembuhan disebut berlangsung mulai dari satu sampai hari," katanya di Jakarta, Jumat (21/8).

Indriyanto menjelaskan, persoalan administratif perizinan dari BPOM itu seharusnya dikomunikasikan dengan persuasi terintegrasi dan koordinasi berimbang (soft integrated and balances coordinated) secara baik dengan Unair, TNI AD, dan BIN. Apapun apresiasi khusus patut diberikan kepada Unair yang siap melakukan evaluasi uji klinis seperti yang diminta BPOM.

"Kekurangan persyaratan teknis administratif tentang alasan demografi, pola kesakitan/simptom, sampel uji klinis yg belum acak, sebaiknya dikomunikasikan dengan soft integrated and balances coordinated. Sehingga ke depan tetap menjaga kredibiltas ke lembaga pemohon izin dan pemberi izin," kata Indriyanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement