Kamis 20 Aug 2020 16:01 WIB

BI: Volatilitas Rupiah karena Faktor Teknis

Nilai tukar rupiah diyakini masih terus menguat seiring faktor fundamental yang kuat.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Petugas menghitung pecahan dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta,Ahad (2/9).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas menghitung pecahan dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta,Ahad (2/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia meyakini pergerakan nilai tukar rupiah yang volatil dalam beberapa hari terakhir terjadi karena faktor teknis. Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan nilai tukar rupiah masih undervalue.

"Kami meyakini pergerakan nilai tukar lebih didorong faktor teknikal, bukan faktor fundamental," katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI, Rabu (19/8).

Baca Juga

Perry menjelaskan, pergerakan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh faktor fundamental dan teknikal. Faktor fundamental meliputi inflasi, defisit transaksi berjalan, perbedaan suku bunga luar dan dalam negeri, termasuk prospek ekonomi kedepan.

Sementara faktor teknikal merespons pemberitaan dari hari ke hari, termasuk kondisi AS, China, Eropa, juga pemberitaan dalam negeri. Selain itu, nilai tukar juga dipengaruhi indikator premi resiko.

Perry mengatakan, nilai tukar rupiah diyakini masih akan terus menguat seiring dengan faktor fundamental yang masih kuat. Seperti inflasi yang tercatat rendah di bawah kisaran sasaran dan mengarah di batas bawah sasaran inflasi 2-4 persen.

Defisit transaksi berjalan juga diperkirakan akan lebih rendah dibawah 1,5 persen PDB. Selain itu, perbedaan suku bunga Indonesia yang dijaga di empat persen sehingga perbedaan suku bunga cukup tinggi. Ini akan menarik aliran dana asing, termasuk ke SBN dan saham.

 

"Pergerakan nilai tukar akhir-akhir ini lebih didorong karena teknikal, secara fundamental masih undervalue dan akan berpotensi menguat ke sesuai tingkat fundamentalnya," katanya.

Pada Juli 2020, rupiah mencatat depresiasi 2,36 persen secara point to point atau 2,92 persen secara rerata dibandingkan dengan level Juni 2020. Ini masih dipicu kekhawatiran terhadap terjadinya gelombang kedua pandemi COVID-19, prospek pemulihan ekonomi global, dan peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global akibat kenaikan tensi geopolitik AS–China.

Kekhawatiran yang sama berlanjut sehingga rupiah pada Agustus 2020 kembali mendapat tekanan yang per 18 Agustus 2020 mencatat depresiasi 1,65 persen secara point to point atau 1,04 persen secara rerata dibandingkan dengan level Juli 2020. Dibandingkan dengan level akhir 2019, rupiah terdepresiasi 6,48 persen (ytd).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement