Rabu 19 Aug 2020 05:30 WIB

Ada Indikasi Partai Komunis China Terbelah

Cai melihat tak sedikit kader Partai Komunis China yang menentang Xi Jinping.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden China Xi Jinping.
Foto: AP Photo/Andy Wong
Presiden China Xi Jinping.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Seorang profesor terkemuka di Sekolah Partai Pusat Elite China, Cai Xia dikeluarkan dari partai yang mengusung pemimpin China, Xi Jinping, Senin (17/8). Hal itu dilakukan setelah rekaman audio dari pernyataan yang mengkritik Xi bocor secara daring pada Juni 2020.

Kritikan Cai itu dinilai telah merusak reputasi negara dan menimbulkan masalah politik yang serius. Meski telah diusir dari China, Cai merasa senang dan menyebut bahwa rezim Xi menghambat kemajuan negara tersebur.

Baca Juga

“Di bawah rezim Xi, Partai Komunis China bukanlah kekuatan untuk kemajuan China. Itu menjadi penghambat kemajuan China," kata Cai seperti dikutip dari laman The Guardian, Selasa (18/8).

Menurut Cai, ia bukanlah satu-satunya orang yang ingin meninggalkan partai itu sejak berada di bawah kepemimpinan Xi. Masih ada kader lain yang bersikap sama. Ia kebebasannya untuk menyampaikan pendapat dihalang-halangi. Sehingga Cai memiliki niat untuk keluar dari partai sejak 2016.

“Saya yakin, saya bukan satu-satunya yang ingin meninggalkan partai ini. Lebih banyak orang ingin mundur dari partai ini. Saya bermaksud untuk keluar dari partai bertahun-tahun yang lalu ketika tidak ada lagi ruang untuk berbicara dan suara saya benar-benar diblokir," jelas dia.

Perempuan itu menuturkan, awalnya ia meminta agar wawancaranya pada Juni lalu tidak dipublikasikan lantaran dia dan keluarganya menerima berbagai ancaman. Namun, kini ia merasa lebih berani untuk menyampaikan pendapat maupun kritiknya terhadap pemerintahan China.

"Saya memiliki lebih banyak kebebasan sekarang. Pidato saya bebas dari kendala apa pun. Saya bertanggung jawab hanya atas hati nurani dan prinsip saya sendiri," papar Cai.

Dia mengungkapkan, terdapat oposisi yang meluas di dalam partai. Namun, hanya sedikit orang yang berani berbicara lantaran takut akan sanksi politik dalam bentuk disiplin internal partai dan tuduhan korupsi.

Menurutnya, dalam lingkungan tersebut, Xi memiliki kekuatan yang tidak terkendali, termasuk dalam hal pengambilan keputusan besar yang menimbulkan kesalahan tak terhindarkan. Salah satunya adalah penanganan wabah Covid-19.

Beijing menyalahkan penyampaian informasi tentang wabah di Wuhan kepada pejabat lokal. Pejabat Kesehatan China mengatakan pada 20 Januari bahwa virus itu menular, beberapa minggu setelah muncul pada Desember.

Tetapi pidato yang diterbitkan oleh majalah Qiushi menunjukkan bahwa Xi bertemu dengan politbiro dan memberikan instruksi tentang tanggapan virus yang diperlukan pada 7 Januari, hampir dua minggu sebelum publik diperingatkan.

“Jika dia tahu pada 7 Januari, mengapa butuh waktu hingga 20 Januari untuk mengumumkan wabah? Dengan kata lain, fakta bahwa orang-orang menyembunyikan berita darinya adalah akibat dari sistem,” ungkap Cai.

"Tetapi ketika dia mengetahui situasinya pada 7 Januari, dia (Xi) tidak mempublikasikan atau memobilisasi sumber daya. Jadi, bukankah seharusnya dia memikul tanggung jawab?" sambungnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement