Selasa 18 Aug 2020 16:32 WIB

Kisah Warga Australia yang Terjebak di Bali Gara-Gara Visa

Kembali ke Australia saat ini bukanlah pilihan, karena tidak punya rumah.

Red:
Wisatawan beraktivitas di Pantai Tanah Lot, Tabanan, Bali, Ahad (16/2/2020).
Foto: Antara/Nyoman Hendra Wibowo
Wisatawan beraktivitas di Pantai Tanah Lot, Tabanan, Bali, Ahad (16/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, ABC News -- Dean Vlassco terjebak di antara keindahan pantai dan situasi yang sulit.

Seperti kebanyakan orang Australia lainnya, dia diperbolehkan tinggal berbulan-bulan tanpa visa di Bali selama pandemi COVID-19.

Namun sejak akhir Juli lalu, Pemerintah Indonesia menyatakan seluruh warga asing yang visanya sudah kedaluwarsa, akan dikenakan biaya perpanjangan visa bulanan. Aturan ini akan diterapkan sejak pertengahan Agustus.

Dean yang berasal dari Kota Darwin, mengaku senang tinggal di Bali, namun kemungkinan denda sebesar Rp1 juta sehari karena visanya yang kadaluarsa, memaksanya keluar dari Bali dengan berat hati.

Jika kembali ke Australia, Dean harus menjalani karantina selama dua minggu dengan biaya yang ditanggung sendiri sebesar AU$3.000, sekitar Rp30 juta.

Maka, dia pun memilih terbang ke Belarus, negara yang pernah didatanginya ketika bekerja sebagai guru bahasa Inggris.

Untuk masuk ke negara Eropa timur yang kini diguncang aksi-kasi demo anti-pemerintah, Dean tak perlu menghabiskan waktu untuk dikarantina.

 

Perubahan aturan yang membingungkan

Dean hanya salah satu dari ribuan warga Australia dan warga negara lainnya yang berada di Bali awal tahun ini ketika Indonesia menutup sektor pariwisatanya, membatalkan penerbangan internasional, serta menutup Bali tanpa batas waktu.

Banyak warga Australia menemukan dirinya terlantar di bandara ketika penerbangan mereka dibatalkan.

Tapi sejak bulan Maret, Pemerintah Indonesia mengeluarkan visa darurat secara gratis yang memungkinkan warga asing menetap sementara sampai pandemi berakhir.

Kemudian pada bulan Juli, Pemerintah Indonesia juga memutuskan orang asing akan diizinkan tinggal jika mereka membayar perpanjangan visa bulanan.

 

Mereka diberikan pilihan lain, yaitu mengajukan visa sosial budaya yang akan memungkinkan mereka tinggal selama enam bulan.

Tapi jenis visa ini membutuhkan sponsor lokal dan dokumen pendukung lainnya.

Bagi orang asing yang permohonan visanya ditolak, akan dikenai denda Rp1 juta yang berlaku mulai Kamis pekan ini.

Perubahan aturan tersebut telah menimbulkan kepanikan di kalangan orang asing. Sebagian dari mereka kini menggunakan jasa agen imigrasi untuk membantu mereka.

Situasi seperti itu cukup rumit bagi Dean.

"Ada banyak tekanan, banyak informasi tidak jelas. Kami diberitahu bisa tinggal dan tidak akan ada perubahan sampai pandemi selesai," katanya.

"Lalu tiba-tiba peraturannya berubah entah dari mana. Kami punya waktu 30 hari untuk memperpanjang visa. Harus diperpanjang setiap bulan," tambahnya.

 

Tak mudah meninggalkan Bali

Tapi meninggalkan Bali bukanlah hal yang mudah dilakukan saat ini.

Penerbangan internasional belum beroperasi secara reguler, turis-turis asing masih ditangguhkan kedatangannya. Situasi ini bisa berlangsung sampai tahun depan.

Akibatnya, Dean dan warga asing lainnya harus ke Jakarta terlebih dahulu sebelum melanjutkan penerbangan internasional dari sana.

Banyak penerbangan telah dibatalkan, yang masih beroperasi pun mengurangi kapasitasnya, sehingga sulit untuk mendapatkan tempat duduk.

"Penerbangan pertama saya keluar Indonesia, dengan KLM, dibatalkan Juli lalu," kata Dean.

"Masalah lainnya adalah banyak negara yang menutup perbatasan, sehingga kita tidak tahu harus pergi kemana," tambahnya.

Kondisi ini tentu saja menyebabkan harga tiket pesawat meroket.

Sejumlah warga Australia di Bali mempertimbangkan untuk terbang ke Turki, atau negara-negara yang masih melayani penerbangan dengan harga relatif murah, atau ke negara yang tidak memberlakukan karantina mandiri bagi pendatang.

 

Terlepas dari proses visa yang rumit, saat ini masih jauh lebih banyak orang Australia yang bertahan tinggal di Bali.

Salah satu di antaranya Leah Seymour, yang sudah tinggal di Bali sejak pertengahan tahun lalu setelah kena PHK di Australia.

Dia memegang visa sosial budaya yang memungkinkannya tinggal hingga enam bulan.

Seperti kebanyakan orang asing di Bali selama pandemi ini, visa Leah juga sudah lama kadaluarsa, tapi ia telah menyewa agen imigrasi setempat untuk membantunya mengajukan visa baru.

 

Siap membantu orang asing

Beberapa warga asing di Bali ditolak permohonan visanya akibat kesalahan ketik atau ejaan. Mereka pun harus mengajukan permohonan baru sebelum tenggat waktu hari Kamis.

Beberapa di antaranya mengaku kesulitan untuk memperbarui paspor karena konsulat Australia tidak bekerja penuh.

Pihak imigrasi Bali yang dimintai tanggapannya mengatakan telah membantu warga asing untuk tetap dapat tinggal di Bali atau di tempat lain sampai pandemi selesai.

"Indonesia memberikan kesempatan kepada warga asing untuk tinggal di sini sampai tersedia penerbangan bagi mereka," kata Eko Budianto dari kantor imigrasi di Bali.

"Kami tidak pernah memaksa mereka pergi. Kami justru membantu warga asing agar bisa tinggal lebih lama tanpa melanggar hukum di Indonesia," jelasnya.

Leah sekarang berharap visa barunya akan keluar sebelum tenggat waktu berakhir.

Bagi Leah, kembali ke Australia saat ini bukanlah pilihan, karena ia tidak lagi punya rumah dan tak sanggup membayar biaya karantina.

"Jujur saja, itu semua jadi faktor utama. Itu uang besar untuk dua minggu, saya tidak sanggup bayar," ucapnya.

"Selain itu, saya tak punya kendaraan, tak punya rumah lagi di sana," kata Leah seraya menambahkan dia tak ingin menyusahkan orang lain untuk menumpang tinggal dengan mereka.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement