Ahad 16 Aug 2020 06:13 WIB

Kesultanan Aceh, Simbol Kejayaan Islam di Nusantara

Aceh merupakan salah satu situs istimewa penyimpan sejarah Islam tertua.

Kesultanan Aceh, Simbol Kejayaan Islam di Nusantara
Foto: Blogspot.com
Kesultanan Aceh, Simbol Kejayaan Islam di Nusantara

REPUBLIKA.CO.ID, ACEH -- Di antara banyak daerah di nusantara, Aceh merupakan salah satu situs istimewa penyimpan sejarah Islam tertua. Adalah Kesultanan Aceh Darussalam, kerajaan Islam yang memancangkan kekuasaannya di bumi Aceh lebih dari empat abad lamanya. Kelahirannya pada 1496 M menjadi regenerasi sejumlah kerajaan Islam yang telah tumbuh jauh sebelumnya. Kemunduran Samudera Pasai menjelang akhir abad keempat menjadi tonggak awal berdirinya kerajaan Islam terbesar di Tanah Rencong ini.

Aceh Darussalam dikenal sebagai salah satu tempat kebudayaan Islam bermuara. Di tengah kontribusi Sumatra dalam penyebaran Islam di nusantara melalui perdagangan, Kesultanan Aceh Darussalam memainkan peran signifikan melalui kontrol dalam negeri dan hubungan luar negerinya.

Baca Juga

Kemampuan diplomasi para sultan Aceh Darussalam memungkinkan kesultanan ini memiliki hubungan internasional yang mengagumkan. Hubungan baik itu dijalin dengan beberapa negara Eropa, seperti Belanda, Prancis, dan Inggris. Bahkan, dengan Kesultanan Turki Utsmaniyah.

Sejumlah sejarawan Aceh menegaskan, Aceh telah mengukir masa lampaunya secara megah dan menakjubkan. Melalui kemampuannya mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, Aceh menorehkan sejarah peradaban Islam yang jaya. Karena itu, gelar “Serambi Makkah” layak disandang wilayah di ujung barat nusantara ini.

Bukti-bukti sejarah juga menunjukkan komitmen Kesultanan Aceh Darussalam menentang imperialisme bangsa Eropa, membangun sistem pemerintahan yang teratur dan sistematis, serta mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan.

Pada masa keemasannya, wilayah Kesultanan Aceh Darussalam, antara lain, mencakup seluruh wilayah Aceh dan juga negeri di sekitar Selat Malaka, termasuk Johor dan Malaka. Pencapaian itu ter utama berkat andil Sultan Iskandar Muda, sultan Aceh Darussalam ke-12, meski kemudian mengalami kemunduran pascapenyerangan ke Malaka pada 1629.

Selain Aceh dan Malaka, kekuasaan Aceh Darussalam juga menembus negerinegeri di timur Malaya, seperti Haru (Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak, Indragiri, Riau, Lingga, Palembang, dan Jambi. Wilayah itu terus meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulen (Bengkulu). Aceh Darussalam juga mampu menaklukkan wilayah Pahang dan Kedah (wilayah yang membentuk Persekutuan Tanah Melayu/Malaysia) serta Patani (sekarang wilayah di Thailand).

Kekuatan Aceh ini, menurut sejarawan Rusdi Sufi, terletak pada usahanya dalam mempertahankan kedaulatan. Rakyat Aceh melakukan apa pun untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Dan, hal itu tidak terlepas dari peran tokohtokoh masyarakat kala itu. Selain itu, motivasi agama selalu menjadi landasan perjuangan rakyat Aceh, utamanya dalam melawan penjajah.

Akhir riwayat Aceh Darussalam ditandai dengan kekalahan dalam Perang Aceh. Sultan Muhammad Daud (sultan terakhir Aceh) menyerahkan diri kepada Belanda yang telah mengibarkan bendera perang sejak 26 Maret 1873.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement