Sabtu 15 Aug 2020 16:53 WIB

Hoaks Picu Ketidakpatuhan terhadap Protokol Kesehatan

Psikolog menyebut masyarakat menjadi sesat pikir akibat hoaks.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Reiny Dwinanda
Berita palsu atau hoaks. Penyebaran hoaks mendorong ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.
Foto: Pixabay
Berita palsu atau hoaks. Penyebaran hoaks mendorong ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyaknya kabar bohong (hoaks) mengenai SARS-CoV2 yang menyebabkan Covid-19 bisa membuat masyarakat menjadi tidak mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah. Literasi informasi dan media digital pun perlu dipelajari dan dipahami oleh masyarakat guna mewaspadai hoaks yang beredar di tengah pandemi Covid-19.

Dosen psikologi Universitas Islam Negeri Jakarta Ikhwan Lutfi menjelaskan, hoaks menimbulkan dampak kecemasan, mengganggu eksistensi, serta menimbulkan ketidakpercayaan pada diri sendiri, orang lain, dan pihak otoritas. Menurut Ikhwan, di masa pandemi sekarang ini, hoaks juga memicu ketidakpatuhan sosial.

Baca Juga

"Hoaks di masa pandemi membuat masyarakat tidak patuh," katanya saat mengisi konferensi pers virtual Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bertema "Hoaks atau Fakta Informasi Covid-19", disimak di Jakarta, Sabtu (15/8).

Menurut Ikhwan, ketidakpatuhan tersebut dikarenakan masyarakat lebih memaknai alternatif informasi yang ada dibandingkan dengan informasi yang disebarkan. Faktor lain yang menyebabkan hal tersebut adalah perilaku malas melakukan pengecekan silang terhadap informasi yang telah tersedia.

 

"Hal itu menimbulkan sesat pikir serta cara berpikir yang pendek," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Tim Kampanye Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Lestari Nurhajati menyebut, isu politik, suku agama ras dan antargolongan (SARA), dan kesehatan menjadi ladang hoaks yang paling banyak tersebar di Indonesia. Ia mengatakan, ketika seseorang percaya terhadap isu yang salah namun dianggap benar, maka orang tersebut dapat melakukan tindakan-tindakan di luar kontrolnya.

"Paling mudah, masyarakat harus melakukan verifikasi terhadap informasi yang diterima, apabila banyak menggunakan huruf kapital, menggunakan kata ‘viralkan’, terlalu bombastis, dan terlalu bersemangat menyampaikan sesuatu yang belum tentu benar itu biasanya mencurigakan,” kata Lestari.

Selain itu, Lestari meminta masyarakat juga harus mengecek dan cek ulang dengan membandingkannya terhadap media lain yang lebih valid dan akurat. Hal tersebut juga harus diikuti oleh proses evaluasi dengan cara menahan diri atau tidak terburu-buru sebelum membagikan informasi tersebut.

“Jangan terburu-buru untuk berbagi, kita harus saring sebelum sharing (membagi informasi),” ujarnya seraya mengungkapkan pentingnya partisipasi dan kolaborasi masyarakat ketika menemukan hoaks di sekitar lingkungan masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement