Jumat 14 Aug 2020 11:04 WIB

Mengenang Adi Sasono

Adi Sasono vokal menyuarakan kepentingan bangsa.

Cover Republika
Foto: Republika
Cover Republika

Yusuf Maulana, Kurator buku lawas Samben Library Jogja

Tepat empat tahun lalu, 13 Agustus 2016, dia wafat. Dua tahun kemudian, 16 Maret tepatnya, sang istri menyusul. Jumat ini saya tak sedang berhaul belaka atas tiadanya dia, namun lebih sebagai catatan dan doa pada sosok yang dikagumi sejak remaja.

Adi Sasono, namanya. Bersama Amien Rais, keduanya tokoh favorit saya kala SMA, di kurun ICMI berdiri semenjana. Hingga organisasi ini menjulang dan saya duduk di bangku kuliah di Jogja. Simpel saja alasannya. Keduanya vokal menyuarakan kepentingan bangsa. Spesifik lagi: aspirasi umat Islam yang mayoritas tak berdaya. Terutama ketika bicara ketidakadilan ekonomi yang ditanggung si pribumi papa. 

Bila Amien melangkah bersama Tauhid Sosial, Adi aktif menyuarakan soal dominasi tiga dekade di bawah Orde Baru yang memanjakan pengusaha keturunan Tionghoa. Suara dan aksinya sebelum dan setelah duduk di pemerintahan (era BJ Habibie) masih konsisten. Soal koperasi dan kedaulatan ekonomi rakyat tema yang digeluti Adi. Sasarannya sebagai antitesis lantang digemakan: pengusaha Tionghoa kelas kakap. Para konglomerat penempel Istana.

Entah bagaimana, keberpihakan Adi pada rakyat pengusaha pribumi dipandang "aneh" lagi berbahaya. Masa krisis keuangan 1997-1998 yang direspons Adi dengan menyoroti perilaku konglomerat hitam, malah ditanggapi sebagai kebijakan rasialis. Asian Week memopulerkan, bersama Far Eastern Economic Review edisi Desember 1998, Adi sebagai "Indonesia's Most Dangerous Man"!

Adi pun tidak sekadar dikritik, tapi juga mulai "digarap".  Beberapa cendekiawan yang tidak suka ICMI, meski Muslim sekalipun, mulai menyerang kebijakan dan retorika Adi. Yang disuarakan Adi sebetulnya fakta. Entah kenapa ihwal idealisme yang wajar adanya malah dipandang begitu politis dan memancing isu SARA. Seorang gus pimpinan ormas Islam kala itu tidak sungkan mengamini pelabelan seram media asing pada Adi. 

Adi, juga Amien, sejatinya suara jujur anak bangsa dari kantong Islam. Mereka sesungguhnya tidak berjuang sempit demi kelompok atau primordialisme. Salah besar sangkaan pembenci Adi dan Amien. Bukan pula takut asing dan investasi. Keduanya hanya perjuangkan keadilan. Amien vokal dalam kasus Freeport, pun bukan berarti tanpa misi kebaikan bagi negeri ini. Sayang, suara-suara tulus semacam keduanya acap dihadang kalangan sendiri yang memihak pihak lain dengan dalil dan dalih tafsirnya. 

Dalam perjalanan politik, Adi dan Amien tidak selalu sejalan. Pernah keduanya di era partai politik marak selepas lengser Pak Harto, dipertarungkan. Seakan keduanya berseberangan. Perjuangan lama di era ICMI, Republika pun seakan pudar oleh euforia partai. Amien dengan PAN (Partai Amanah Nasional) Adi dengan PDR (Partai Daulat Rakyat).

Saya menikmati tulisan mereka semasa keduanya duduk aktif di redaksi ahli Republika. Kolom "Resonansi" begitu terang, menohok, tak perlu puitis di kata-kata layaknya sebuah kolom halaman belakang sebuah majalah yang pernah dibreidel Pak Harto. Reputasi kolom di koran Republika adalah kejujuran. Dan gagasan kedua nama di atas dengan mudah ditemui di kolom tadi. 

Adi dan Amien juga aktif menulis di tabloid besutan awak Republika: Tekad. Saya melanggani tabloid bernas dan analitis ini. Bersama tabloid sepupu jauh yang sempat populer era Orde Lama: Adil. Sayang, analisis keduanya tidak dapat dibaca lagi sekarang seturut matinya kedua tabloid tersebut. Tabloid yang banyak seimbangkan aspirasi umat di tengah transisi demokrasi masa itu. 

photo
Cover Majalah Tekad - (Dok Pribadi)

Saya berusaha mencari-cari foto sampul tabloid yang mengulas "perseteruan" kedua tokoh di atas. Alhamdulillah, masih tersimpan. Semacam memorabilia atas wafatnya Adi Sasono empat tahun lalu.

Adi barangkali asing bagi anak muda era digital. Apatah lagi bila namanya diiringi label "seram" bikinan media asing, yang juga diam-diam disepakati beberapa koran lokal di sini. Adi tidak bakal utuh ditangkap sebagai sosok pejuang ekonomi kerakyatan, tapi sebagai lawan etnis tertentu. Dan ini mudah diseret sebagai sosok penggaung antikerukunan. 

Barangkali di sisi ini nama Adi "dipantaskan" dilupakan oleh banyak media hari ini. Kecuali tentu saja Republika. Keterlaluan bila koran yang kini dimiliki penguasa grup Mahaka dan aktor penting di pemerintahan Joko Widodo justru enggan memuat berita legasi Adi Sasono di lembarannya betapapun dia telah tiada berbilangan purnama politik. 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement