Jumat 14 Aug 2020 10:01 WIB

Kisah Hendri Bakarie yang Diduga Meninggal Dianiaya Polisi

Kejanggalan kematian Hendri Bakarie membuat keluarga meminta autopsi.

Hendri Alfred Bakarie meninggal dunia setelah ditangkap Polisi di Batam, Kepri, akibat dugaan kepemilikan narkoba. Keluarga menduga Hendri meninggal akibat dianiaya, pasalnya Hendri meninggal dengan sejumlah lebam di bagian tubuhnya dan kepala yang terbungkus plastik.
Foto: Wikipedia
Hendri Alfred Bakarie meninggal dunia setelah ditangkap Polisi di Batam, Kepri, akibat dugaan kepemilikan narkoba. Keluarga menduga Hendri meninggal akibat dianiaya, pasalnya Hendri meninggal dengan sejumlah lebam di bagian tubuhnya dan kepala yang terbungkus plastik.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho

Hendri Alfred Bakarie meninggal setelah diduga dianiaya polisi dalam penyelidikan kasus narkoba di Batam. Kejadian yang menimpa Hendri hanya satu dari sejumlah kasus dugaan penganiayaan oleh aparat hukum di Indonesia.

Baca Juga

Hendri Bakarie ditangkap pada Kamis (6/8), di Belakang Padang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Ketika itu korban sedang berada di kelong ikan, kemudian datang beberapa anggota kepolisian melakukan penangkapan tanpa dilengkapi surat penangkapan.

Keesokan harinya, Jumat (7/8), Polisi dari kesatuan Polresta Balerang datang ke rumah korban untuk melakukan penggeledahan. Saat dilakukan upaya paksa tersebut, keluarga korban melihat wajah Hendri tampak lebam dan memar, kemudian dari kesaksian warga, Hendri saat itu tampak terlihat lemas, berjalan pincang, dan mengeluh kehausan. Pada 8 Agustus, diketahui Henry meninggal dunia dengan luka lebam yang membekas di sekujur tubuhnya.

Keluarga membantah keterangan polisi yang menyebut Hendri menderita asma. Pernyataan ini disampaikan oleh adik Hendri, Christy Bakarie.

"Soal Kak Otong (nama panggilan Hendri) ada asma kami membantah sama sekali karena rekam medisnya tidak ada asma. Tidak ada riwayat penyakit asma," ujar Christy dalam konferensi pers yang digelar bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) belum lama ini.

Christy juga membantah klaim kepolisian yang menyebut bahwa tidak ada penganiayaan. Menurut Christy, pihak keluarga justru meminta autopsi setelah melihat banyak kejanggalan dalam kematian Hendri sejak dari penangkapan.

Saat awal ditangkap pada Kamis (6/8) lalu, Christy menyebut polisi tak membawa surat penangkapan. Ketika Jumat (7/8) dilakukan penggeledahan, polisi juga tak didampingi RT/RW maupun warga setempat, bahkan tidak ada barang bukti sabu yang dituduhkan.

Christy justru mendapati keterangan warga bahwa saat penggeledahan di tempat lain pada Sabtu (8/8) dini hari, Hendri sudah terkulai lemas. Ia tak bisa berdiri. Bahkan, kata Chrisy, Hendri sampai meminta minum pada warga sekitar.

Kemudian, pada Sabtu pukul 07.00 WIB, Hendri diketahui tewas. Menurut Christy, pihak keluarga baru diberi tahu sekira pukul 11.00 WIB dan menemui Hendri di Rumah Sakit Budi Kemuliaan beberapa jam setelahnya. Keluarga terkeju karena jenazah Hendri dalam keadaan kepala terbungkus plastik dengan alasan prosedur Covid-19.

Bukan hanya dalam keadaan kepala terbungkus plastik, Christy menyebutkan adanya luka memar di tubuh Hendri. "Dari lutut sampai bawah lebam, paha kanan kiri juga lebam," kata Christy.

Kejanggalan tersebut membuat keluarga meminta autopsi. Surat penangkapan, kata Christy, baru diterima saat keluarga minta autopsi setelah Hendri sudah tak bernyawa.

Kepolisian mengatakan Hendri yang dalam penyelidikan kasus dugaan tindak pidana narkoba memiliki penyakit asma. “Pada 8 Agustus pukul 04.30 Hendri mengeluh bahwa dadanya sesak dan memiliki riwayat asma. Dia meminta untuk dibelikan obat asma (spray),” kata Kapolres Barelang, Kombes Purwadi Wahyu Anggoro dalam keterangan tertulis, Kamis (13/8).

Menurut kepolisian, setelah dibelikan obat Hendri kemudian tidur di sofa ruang penyidikan dan kembali mengeluhkan sakit pada bagian dada lalu meminta untuk dibawa ke dokter. Sekitar pukul 05.45, jelas Purwadi, tim Opsnal Polres Barelang membawa Hendri ke Rumah Sakit Budi Kemuliaan, Batam.

“Setelah beberapa jam diberikan bantuan pernapasan oleh medis tersangka Hendri dinyatakan oleh pihak RS bahwa meninggal dunia pukul 07.13 WIB,” kata Purwadi.

Hingga saat ini, Purwadi mengatakan pihaknya masih menunggu hasil visum tim medis RS Bhayangkara, Polda Kepri, untuk mengetahui penyebab sebenarnya kematian Hendri Alfred Bakarie sekaligus untuk menjawab tuduhan penganiayaan aparat Kepolisian saat mengamankan Hendri.

Lebih lanjut, Purwadi juga menyebut tidak ada penganiayaan. Purwadi beralasan, pihak keluarga telah melihat jenazah Hendri. "Penangkapan sesuai prosedur, tidak akan ada penganiayaan, keluarga tersangka sudah lihat langsung,” kata Purwadi.

Hendri ditangkap akibat kepemilikan 1,41 gram natkotika jenis sabu. Polisi menyebut Hendri mempunyai 106 kilogram sabu. Tapi, hingga saat ini, sabu tersebut tidak ada.

Purwadi juga menuding Hendri merupakan jaringan peredaran narkoba, dan menjadi bagian dari pengembangan kasus narkotika jenis sabu sebanyak 38 kg yang berhasil diamankan Lanal Batam beberapa waktu lalu.

"Hasil riksa, saksi ada sempat melihat barang (sabu) tersebut dan sudah sebagian beredar, sisa sekitar 106 kg tersebut. Barang itu belum ditemukan karena Otong (Hendri) yang simpan. Kita masih cek beberapa lokasi yang mungkin sebagai tempat menyimpan," kata dia.

Kasus dugaan penganiayaan terhadap Hendri dalam proses penyelidikan dugaan tindak pidana narkoba menambah daftar panjang kasus penganiayaan oleh oknum polisi. Mekanisme internal kepolisian tak bisa diharapkan dalam mengusut kasus yang dilakukan oleh personelnya.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, kasus dugaan penganiayaan seperti yang dialami Hendri maupun kasus lainnya diusut secara pidana. Namun hal itu kerap tidak terjadi.

"Melihat praktik selama ini, mekanisme internal kepolisian melalui Propam (Profesi dan Pengamanan) maupun Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) tidak dapat lagi diharapkan untuk menuntut pertanggungjawaban terkait pengusutan dugaan kasus penyiksaan di lingkungan Polri," ujarnya.

Oleh karenanya, kata Erasmus, mekanisme eskternal melalui National Preventive Mechanism (NPM) atau mekanisme pencegahan penyiksaan yang dijalankan oleh lima lembaga yakni Komnas HAM, Ombudsman, LPSK, KPAI, dan Komnas Perempuan harus dapat diterapkan. Dalam kasus ini, fungsinya untuk mengusut tuntas fakta di balik terjadinya dugaan penyiksaan oleh oknum aparat kepolisian tersebut.

Hasil penelusuran NPM kemudian dapat dijadikan dasar dalam proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan terhadap Hendri. "Kami juga meminta Komisi III DPR RI untuk segera melakukan pemantauan dan apabila sudah selayaknya memanggil Kapolri untuk menjelaskan maraknya dugaan penyiksaan oleh anggota kepolisian," ujar Erasmus.

ICJR juga merekomendasikan agar Kementerian Hukum dan HAM dan DPR RI segera merombak seluruh ketentuan-ketentuan yang dapat membuka peluang terjadinya praktik penyiksaan, termasuk soal masa penangkapan yang panjang hingga akuntabilitas aparat penegak hukum yang lemah dalam sistem peradilan pidana.

Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) turut meminta Mabes Polri memberi perhatian serius pada kasus kematian Hendri Alfred Bakarie. "Komnas HAM RI juga meminta Mabes Polri memberikan perhatian atas proses penyelidikan peristiwa ini, agar penyelidikan penyidikannya profesional, akuntabel dan transparan," tulis Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, M. Choirul Anam saat dikonfirmasi Republika, Kamis (13/8).

Jika terdapat bukti adanya aksi kekerasan dan atau penyiksaan yang dilakukan polisi, Komnas HAM meminta agar proses hukum ditegakkan dengan seadil-adilnya. Dengan demikian, kasus ini tidak berhenti pada sekadar kode etik atau pemberhentian personel saja.

Komnas HAM sendiri menyayangkan tindakan kekerasan yang diduga dilakukan dalam upaya penegakan hukum Kepolisian. "Melihat kondisi korban melalui dokumen yang diperoleh, kematian korban diduga kuat dikarenakan kekerasan," kata Choirul.

Komnas HAM sendiri telah menyatakan bahwa pelanggaran HAM diduga kuat terjadi dalam kasus tersebut. Person in Charge (PIC) pemantauan kasus ini, Wahyu Pratama Tamba dalam keterangan resmi Komnas HAM menjelaskan pihaknya telah berkomunikasi dengan pihak keluarga, mendapatkan kronologi peristiwa, informasi penting dan beberapa dokumen penunjangnya.

"Berdasarkan informasi awal yang diterima, diduga kuat terjadi pelanggaran hak asasi manusia," ujarnya.

Pernyataan bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Jakarta, Imparsial, dan Lokataru juga menilai praktik-praktik penyiksaan masih kerap dilakukan sebagai bentuk penghukuman atau sebagai bentuk balas dendam terhadap para tersangka. Polisi yang terindikasi melakukan penyiksaan minim diberi sanksi tegas.

Seringkali, proses melakukan penghukuman terhadap pelaku penyiksaan hanya berhenti pada proses disiplin atau etik. Padahal penyiksaan merupakan tindakan kejahatan yang harusnya penyidik melakukan pemeriksaan secara pidana terhadap para terduga pelaku dan atasan hukumnya

"Kami memandang, Polisi selama ini belum memiliki komitmen dan kemauan serius dalam menyelesaikan kasus-kasus penyiksaan yang kerap dilakukan anggotanya," kata Peneliti KontraS Andi Muhammad Rezaldy.

Bahkan, KontraS menilai, Institusi Polri hari ini terkesan melindungi para pelaku penyiksaan dan melanggengkan impunitas. KontraS mencatat ada lima kasus dengan 13 korban dengan rentang waktu April-Agustus 2020.

Sedangkan berdasarkan Laporan Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia Periode Juni 2019–Mei 2020 oleh KontraS, terdapat total 62 kasus penyiksaan. Dari jumlah kasus itu, mayoritas sebanyak 48 kasus di antaranya merupakan penyiksaan oleh oknum kepolisian.

KontraS juga menemukan tidak ada satu kasus penganiayaan oleh polisi yang diproses secara pidana. Berdasarkan sampling terhadap 45 kasus, sebanyak 40 kasus bahkan tidak ada proses lanjutan, dua kasus mencabut laporan, dan tiga kasus hanya berakhir dengan sidang etik.

Berikut sejumlah catatan dugaan penganiayaan oleh polisi. Pertama, dugaan praktik penyiksaan dalam kasus penangkapan di Tangerang. Pada 9 April 2020, sekitar 10 orang polisi dari Polres Tangerang yang ketika itu tidak menggunakan seragam datang menemui Muhammad Riski Riyanto (21 tahun) dan Rio Imanuel Adolof (23 tahun). Saat diminta menunjukan surat penangkapan dan surat tugas, anggota kepolisian hanya menunjukan surat tugas bulanan, sedangkan korban diintimidasi dengan senjata laras panjang.

Selain itu, kepala korban juga dipukul menggunakan helm sebanyak dua kali. Kemduian setelah dibawa, korban dipukul, ditendang, diborgol dengan kabel tis hingga darah membeku dan tangan membengkak. Lebih lanjut, kedua korban dipukul dengan besi di beberapa bagian tubuh dan kepala kedua korban dibungkus dengan plastik hingga tidak dapat sadarkan diri.

"Terkait dengan peristiwa tersebut, KontraS dan LBH Jakarta telah melaporkan peristiwa tersebut, namun belum mendepatkan perkembangan terkait dengan laporan tersebut," kata Peneliti KontraS Andi Muhammad Rezaldy.

Kedua, Kasus penagkapan terhadap 9 (sembilan) orang pemuda Desa Batu Cermin, Manggarai Barat, NTT pada tanggal 11 April 2020. Para pemuda tersebut didatangi oleh sejumlah anggota Polres Manggarai Barat yang sedang berpatroli dan polosi membubarkan sekelompok pemuda tersebut.

Pada saat proses pembubaran, beberapa orang menjelaskan kepada pihak kepolisian terkait alasan mereka tidak dapat pulang ke rumah masing-masing. Pihak kepolisian kemudian langsung mengangkut sekelompok pemuda tersebut ke Polres Manggarai Barat. Setelah dibawa ke Polres, para pemuda tersebut kemudian dianiaya oleh beberapa orang anggota Polres hingga mengalami luka-luka

"Pasca dianiaya berdasarkan informasi yang kami terima, pihak kepolisian mengembalikan para pemuda tersebut ke Pendopo Desa," kata Andi.

Ketiga, Dugaan Kasus Penyiksaan terhadap EF (anak dibawa umur). Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 26 April 2020. Peristiwa ini berawal ketika terjadi peristiwa pengeroyokan terhadap salah seorang anngota Polri pada tanggal 22 April 2020.

Setelah peristiwa tersebut, pihak kepolisian melakukan penangkapan terhadap EF yang diduga mengalami praktik penyiksaan. Korban dipaksa mengakui tindakan pengeroyokan tersebut, namun belakangan diketahui bahwa pelaku pengeroyokan terhadap salah seorang anggota kepolisan tersebut bukanlah EF.

Terkait dengan peristiwa dugaan praktik penyiksaan tersebut, keluarga korban telah melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian. Namun hingga saat ini belum ada perkembangan yang berarti. Kasus pengeroyokan terhadap salah seorang anggota Polisi sendiri telah masuk proses persidangan.

Keempat, Dugaan kasus penyiksaan terhadap Sarpan (57 tahun). Peristiwa ini terjadi pada 27 Juli 2020. Sarpan yang merupakan seorang saksi peristiwa pembunuhan, ditangkap dan ditahan oleh petugas Polsek Percut Sei Tuan terkait dengan tuduhan tindak pidana pembunuhan terhadap almarhum DS sejak tanggal 2-5 Juli 2020.

Diduga selama proses penyidikan dan penahanan tersebut, korban mengalami praktik-praktik penyiksaan berupa pemukulan dan intimidasi agar korban mengakui tindak pidana yang disangkakan tersebut. Akibat dari dugaan praktik penyiksaan tersebut, korban mengalami luka-luka pada bagian wajah dan sekujur tubuhnya.

Andi Rezaldy menyoroti, polisi yang terindikasi melakukan penyiksaan kerap minim diberi sanksi tegas. Sering kali, proses melakukan penghukuman terhadap pelaku penyiksaan hanya berhenti pada proses disiplin/etik.

"Padahal penyiksaan merupakan tindakan kejahatan yang harusnya penyidik melakukan pemeriksaan secara pidana terhadap para terduga pelaku dan atasan hukumnya," ujar diam

KontraS menilai, Polisi selama ini belum memiliki komitmen dan kemauan serius dalam menyelesaikan kasus-kasus penyiksaan yang kerap dilakukan anggotanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement