Rabu 12 Aug 2020 22:09 WIB

Cendekiawan Muslim dan Yahudi Sepakat: Sains tak Bebas Etika

Konferensi Islam dan Yahudi sepakati sains sejatinya tak bebas etika.

Konferensi Islam dan Yahudi sepakati sains sejatinya tak bebas etika.  Sains (Ilustrasi)
Foto: Pixabay
Konferensi Islam dan Yahudi sepakati sains sejatinya tak bebas etika. Sains (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Hajatan tahunan ke-9 Islamic Organization for Medical Sciences (IOMS) di Kairo, Mesir, pada 2006 lalu, lain dari biasanya. Selain isu yang diangkat lumayan 'berat' tentang peta genetik dan teknologi reproduksi mereka juga mengundang kolega yang tak biasa, para ilmuwan Yahudi. 

Ini merupakan konferensi Islam pertama dimana ilmuwan Muslim dan Yahudi duduk satu meja membahas tentang perkembangan sains dan teknologi.  

Baca Juga

"Kita hidup bersama di dunia dimana prioritas nyata kita adalah pengembangan sains untuk kemaslahatan bersama,'' ujar imam Besar Al Azhar saat itu, Syekh Mohamed Sayyed Thanthawi, saat membuka acara. 

Dia menekankan, Islam tidak mengharamkan sains, bahkan dianjurkan untuk mencari pengetahuan seluas-luasnya dalam berbagai bidang ilmu.

 

Dan, pidato sang imam seperti mencerminkan agenda apa yang bakal dibahas dalam perhelatan ini. Sederet isu sensitif masuk dalam bahasan hari pertama dan kedua, dari empat hari yang direncanakan. Misalnya, soal teknologi reproduksi dan rekayasa genetika dalam reproduksi serta dampaknya bagi masyarakat dan keluarga.

Hajatan IOMS kali ini disukung penuh oleh Islamic Organization for Scientific and Cultural Organization (ISESCO) dan Uited States Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Sebagai host acara adalah World Health Organization (WHO) wilayah kerja Timur Tengah yang berpusat di Kairo.

Selain para tokoh dari ketiga organisasi itu, tokoh Muslim yang menjadi pembicara adalah ulama Mesir, Syekh Ali Jumah, anggota Dewan Pelindung IOMS, Dr Hassaan Hathout dan tokoh ilmuwan Muslim Eropa, Dr Jamal Badawi. 

Dr Hathout dalam sambutannya menyatakan, acara ini bukan perhelatan yang eksklusif satu agama saja. ''Pertemuan ini justru untuk membangun pengertian yang lebih baik antarumat beragama mengenai isu-isu yang sensitif,'' ujarnya.

Menurutnya, Islam tidak membatasi atau memenjarakan umatnya dalam aturan-aturan yang kaku. ''Syariah datang untuk melindungi lima objek, yaitu agama, kehidupan, intelektual, properti, dan keturunan,'' katanya. John H Brayant, profesor di John Hopkins's University Amerika Serikat dan direktur Institute of Community Health di Kismu, Kenya, menyetujui. ''Pertemuan ini adalah untuk mengeratkan persaudaraan di antara kita,'' katanya.

Brayant menekankan pentingnya moral dan etika yang sangat dijunjung tinggi semua agama dalam dunia sains. Ia berharap pertemuan ini menghasilkan hal yang bermanfaat bagi umat manusia, utamanya dalam bidang sains yang beretika. Pendapatnya diamini Dr Hathout. Menurutnya, saatnya para ilmuwan bergandeng tangan demi kemaslahatan bersama. ''Sudah seharusnya ilmuwan turun dari menara gading ke menara emas, dan kemanusiaan harus mengubah konsep 'kamu' dan 'aku' menjadi 'kita','' katanya.

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement