Selasa 11 Aug 2020 04:59 WIB

Cara-Cara Keji yang Digunakan dalam Propaganda Anti-Islam

Terdapat banyak cara yang digunakan dalam propaganda anti-Islam.

Terdapat banyak cara yang digunakan dalam propaganda anti-Islam. Umat Islam Ilustrasi.
Foto: Republika/Musiron
Terdapat banyak cara yang digunakan dalam propaganda anti-Islam. Umat Islam Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, Kita harus akui bahwa Umat Islam sangat lemah, terjajah, tidak mandiri, dan hidup dalam tekanan asing melalui kaki tangannya. Bahkan propaganda demi propaganda dijalankan untuk menyudutkan Islam dan para pemeluknya, seperti stigma teroris dan radikal. 

Hal ini terjadi tidak hanya di negeri ini, tetapi hampir di seluruh negeri kaum Muslimin. Keadaan ini digambarkan Rasulullah saw, sebagaimana dituturkan Tsauban:  

يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا

''Kelak, bangsa-bangsa lain akan memperebutkan kalian, sebagaimana memperebutkan makanan untuk meremukkannya.'' (HR Abu Dawud).

 

Bagaimana propaganda anti-Islam itu dijalankan? Terdapat metode-metode yang biasa digunakan kalangan anti-Islam dalam menyebarkan propaganda mereka, dan peran apa yang bisa dilakukan oleh umat Islam dalam menghadapi tantangan ini.

Metode pertama yang sering dijumpai adalah penggunaan informasi dari sumber-sumber yang tidak jelas dasarnya. Misalnya, banyak dari kalangan anti-Islam mengutip pernyataan dari kalangan orientalis maupun ulama Islam yang langsung dijadikan premis yang dianggap valid untuk mendukung tuduhan mereka tanpa dijelaskan dasar-dasar argumentasinya.

Contohnya, untuk menunjukkan bahwa Islam tidak mengenal toleransi beragama untuk menafikan ayat-ayat Alquran tentang toleransi (seperti laa ikraha fiddin, lakum dinukum wa liyadin) mereka mengutip pendapat beberapa ulama Muslim yang mengatakan ''ayat-ayat toleransi'' sudah di nasakh (dibatalkan hukumnya) dengan ''ayat-ayat pedang (perang)''. 

Seharusnya mereka menyadari bahwa pendapat siapapun mengenai Islam sekalipun dikeluarkan oleh mereka yang berstatus ulamaargumentasinya harus berdasarkan sumber-sumber yang diakui, yakni Alquran dan hadits sahih Nabi SAW.

Apalagi, ini berhubungan dengan nasikh dan mansukh yang jelas harus ada keterangan langsung dari Nabi SAW. Tanpa ada dasar-dasar ini, pernyataan ulama hanya bisa diakui sebagai pendapat atau interpretasi pribadi, yang mungkin saja dikeluarkan dalam konteks dan situasi tertentu di zamannya. 

Metode kedua adalah penggunaan sumber-sumber sejarah yang tidak reliable atau tidak terjamin otentisitasnya. Untuk menghujat Nabi SAW, kalangan anti-Islam biasanya mengutip kisah yang bisa ditemui di dalam kitab-kitab sirah Nabi dan tarikh Islam, seperti Ibnu Ishaq, Ibnu Sa'ad, dan Thabari, tanpa mempedulikan status kesahihan riwayat kisah tersebut. 

Seharusnya mereka mengetahui bahwa kitab-kitab ini berbeda dengan kitab-kitab Hadits yang bisa dijumpai rantai periwayatannya dari informasi yang dicatat, sehingga bisa diteliti status keshahihannya. Imam Thabari sendiri menjelaskan dalam muqaddimah kitab tarikh-nya bahwa ia memasukkan semua berita yang didengarnya tanpa menyaring kembali kesahihan periwayatannya. Sayangnya, penjelasan beliau sebagaimana penjelasan ahli-ahli sejarah Islam lainnya tidak dipedulikan oleh kalangan anti-Islam ini. 

photo
Gambar Sultan Mehmet II, atau The Conquerer, muncul di belakang sebuah band militer bergaya Ottoman di Istanbul. - (pinterst)

Metode ketiga adalah penggunaan informasi yang parsial, tidak utuh, yang dijelaskan out of context, meskipun dari sumber-sumber yang sahih. Karena tidak mengandung informasi yang menunjukkan konteks dan fakta yang benar, kutipan-kutipan yang parsial cenderung menyebabkan kesalahan dalam mengambil kesimpulan. 

Ini bisa kita lihat ketika mereka mengutip potongan kisah-kisah kehidupan Nabi SAW yang diseleksi untuk menghujat beliau. Seharusnya mereka menyadari bahwa membaca perjalanan hidup Nabi serupa dengan menonton film kolosal berseri. Menonton hanya sepotong episode tidak akan membuat kita tahu jalan cerita yang sebenarnya. Bahkan, pihak yang benar bisa dianggap sebagai penjahat, sedang para penjahat bisa dianggap berada pada pihak yang benar. 

Contoh lain misalnya pengutipan ayat-ayat perang dalam Alquran tanpa menjelaskan konteks diturunkannya, atau asbabun-nuzul/-nya. Ayat 9:5 dikutip tanpa ayat 1-15 dalam surah yang sama, atau tidak dikutipnya ayat lain yang menjelaskan dua konteks yang berbeda, misalnya ayat 60:8-9. 

Contoh lainnya dapat dilihat ketika tidak dikutipnya ayat-ayat Alquran, Hadits Nabi ataupun kisah-kisah dalam shirah, yang menggambarkan kemuliaan ajaran Islam atau sifat-sifat agung dan tanda-tanda kerasulan Nabi SAW. Padahal, semua ini sama-sama ada dalam kitab-kitab yang mereka gunakan untuk menghujat 'keburukan moral' Islam dan Nabi. 

Metode keempat adalah penggunaan standar ganda dalam menghujat Islam dan Nabi. Ini biasanya dilakukan oleh kalangan anti-Islam dari golongan Kristen fundamentalis. Contohnya Nabi SAW dituduh nabi palsu dengan alasan beliau melakukan peperangan dan beristri banyak.

Padahal, dalam kitab suci mereka sendiri didapati kisah para Nabi yang berperang dan yang memiliki banyak istri. Atau seperti ketika Nabi dituduh sebagai pedofil karena menikahi Aisyah yang masih kecil berdasarkan standar modern yang tidak dikenal pada zaman kontemporer beliau. Tradisi ini tidak mendapatkan satu pun kecaman terutama dari musuh-musuh beliau saat itu yang selalu berusaha mencari kesalahan untuk dihujat.

Metode kelima adalah pengaburan sejarah Islam. Islam dituduh sebagai sumber keterbelakangan dan kemunduran. Padahal jelas sejarah menunjukkan kemajuan peradaban Islam jauh sebelum majunya peradaban di Barat. 

Islam dituduh pula sebagai penyebab sikap tidak toleran terhadap mereka yang berbeda agama. Padahal sejarah jelas menunjukkan bahwa umat Islam dapat hidup berdampingan dengan umat lainnya sejak zaman Nabi SAW di Madinah. Sejarah juga menunjukkan bahwa ketika dilancarkan inquisition di Spanyol pada abad pertengahan, berbondong-bondong orang Yahudi lari keluar Spanyol dan diberikan perlindungan di dalam kekhalifahan Islam. Ini menunjukkan anti-Semit tidak dikenal di dalam Islam seperti yang sering dituduhkan. 

Metode keenam adalah penggunaan generalisasi. Ini biasanya dikaitkan dengan peristiwa kekerasan ataupun terorisme yang terjadi dalam pergolakan politik dunia Islam. Perbuatan sekelompok kecil orang Islam yang menyimpang dari ajaran Islam dinilai mewakili semua orang Islam, atau diidentikkan dengan ajarannya dan contoh dari Nabinya. 

Seharusnya mereka sadar bahwa menilai suatu agama tidak bisa dilihat dari perbuatan pemeluknya, tapi dilihat dari ajaran agama tersebut. Meskipun terorisme jelas dilarang dalam Islam dan mayoritas umat Islam mengutuknya, kalangan anti Islam tetap menyebarkan propaganda mereka bahwa Islam dan Muslim mendukung terorisme.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement