Senin 10 Aug 2020 18:35 WIB

3 Komunikasi Persuasif Nabi Ibrahim yang Diabadikan Alquran

Terdapat 3 kriteria komunikasi persuasi Nabi Ibrahim AS dalam Alquran.

Terdapat 3 kriteria komunikasi persuasi Nabi Ibrahim AS dalam Alquran. Ilustrasi
Terdapat 3 kriteria komunikasi persuasi Nabi Ibrahim AS dalam Alquran. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Syihabuddin Qalyubi,

  

Baca Juga

Wahbah az-Zuhaili dalam  kitab Tafsirnya al-Wajīz menjelaskan karakter Ibrahim AS, bahwasanya dia seorang yang santun, berakhlak mulia, berlapang dada dan tidak marah ketika terjadi kecurangan terhadap dirinya,  pengiba, yakni selalu merendahkan diri di hadapan Allah. Karakter yang melekat pada nabi Ibrahim ini sangat erat kaitannya dengan karakter  komunikator dalam komunikasi persuasif. 

Secara garis besar komunikasi persuasif atau al-Iqnā (dalam bahasa Arab) adalah bentuk komunikasi yang dirancang untuk mengubah sikap atau perilaku komunikan (seseorang atau kelompok) ke arah peristiwa atau gagasan, yang dilakukan secara verbal ataupun non-verbal. Salah satu aspek yang paling penting dalam komunikasi persuasif adalah komunikator. 

Peran komunikator sangat penting dan berpengaruh. Karena itu, ia harus memiliki performa yang tinggi, yang bisa ditandai dengan sikap siap, tulus, dapat dipercaya, tenang, ramah, dan kesederhanaan dalam mengkomunikasikan pesan. 

Dalam kisah Ibrahim AS banyak dijumpai komunikasi secara persuasif, yaitu komunikasi yang dilakukan  Ibrahim dengan Allah SWT, ayahnya, kaumnya,  Namrud, dan dengan anaknya (Ismail AS) sewaktu akan dijadikan qurban. Dalam literatur komunikasi dikenal ada tiga kriteria komunikator persuasif yang baik: yaitu ethos, pathos, dan logos. 

1. Ethos 

Adalah berkaitan dengan otoritas atau kredibilitas komunikator (pembicara), yakni sejauh mana kemampuan komunikator dapat meyakinkan komunikan (audiens) bahwa dia memenuhi syarat untuk berbicara tentang topik tertentu. Jika diteliti secara seksama Ibrahim sudah memenuhi aspek ini, sebagaimana pernyataannya dalam surat Maryam: 43

يَٰٓأَبَتِ إِنِّى قَدْ جَآءَنِى مِنَ ٱلْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَٱتَّبِعْنِىٓ أَهْدِكَ صِرَٰطًا سَوِيًّا 

“Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” 

Dalam ayat ini Ibrahim memberitahu ayahnya bahwa ia telah mendapat sebagian ilmu berupa wahyu dari Allah dan ilmu tersebut belum sampai pada ayahnya. Ilmu yang telah ia dapatkan bisa mengantarkannya kepada kebenaran dan mampu digunakan untuk memberi petunjuk orang yang tersesat.

Dengan demikian Ibrahim mempunyai otoritas untuk berdakwah atau komunikasi secara persuasif. Otoritas dan kredibilitas Ibrahim ini diperkuat lagi oleh pernyataan Allah: 

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ  

“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.” (Hud: 75) 

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (QS al-Nahl: 120)

2. Pathos 

Adalah hubungan emosional antara komunikator dengan komunikan, dengan kalimat lain bagaimana komunikator membangkitkan semangat komunikan dan menggerakkan emosi-emosi mereka, sehingga menghasilkan motivasi komunikan untuk mendengarkan message (pesan). Bisa jadi komunikator menggunakan narasi dengan memperhatikan antara lain diksi (pilihan kata), retorika, metafora, kiasan, story telling.

Ada beberapa ayat yang menuturkan bagaimana usaha Ibrahim memotivasi anaknya, ayahnya, dan umatnya agar mendengarkan dan mengikuti ajakannya. Sebelum peristiwa qurban terjadi ada kejadian yang sangat dramatis, yaitu ketika Ibrahim meminta pendapat anaknya (Ismail) tentang pelaksanaan mimpinya. Ia tidak langsung berkata: “Hai Ismail saya harus menyembelih kamu,” coba perhatikan kalimatnya:

قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ

“Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” (as-Saffat: 102)

photo
Alquran/Ilustrasi - ()

Dalam ayat itu digunakan seruan Yā bunayya ,  artinya  panggilan sayang kepada anak laki-laki (Baca yusuf: 5, 67, 87, Ibrahim: 35, Luqman: 16, 17), sebagaimana yā abatī panggilan hormat anak kepada orang tuanya. (Baca Maryam: 42-45, as-Saffat: 102).

Dalam Tafsir al-Mīzān disebutkan bahwa diksi arā ( أرى) menggunakan fi’il mudlāri’ menunjukkan makna mimpi itu terjadi berulangkali. (Baca Yusuf:43), namun Ibrahim baru waktu itu ia berani mengutarakan kepada anaknya. Disamping itu kata arā fil manām dalam ayat lain disebut al-ru’yā dalam Alquran mempunyai arti mimpi yang benar atau wahyu.

Untuk mengungkapkan makna mimpi dalam Alquran disebut juga al-hulm atau ahlām mempunyai arti mimpi yang bohong. Sehingga tatkala Ibrahim berkata arā fil manām, maka Ismail langsung meresponnya secara positif, karena mimpi itu adalah mimpi benar atau wahyu dari Allah SWT:

يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (as-Saffat: 102).

3. Logos 

Adalah bukti logis yang disampaikan komunikator. Dengan kalimat lain komunikator terampil mempengaruhi komunikan dengan menyampaikan argumentasi yang masuk akal. Perhatikan komunikasi Ibrahim AS dengan Raja Namrud:

إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ ۖ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari Timur, maka terbitkanlah dia dari Barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS al-Baqarah: 258)

Dalam Tafsir al-Jalálain disebutkan, bahwa Namrud bertanya kepada Ibrahim: Siapakah Tuhanmu yang kamu mengajak kami kepada-Nya? Ibrahim menjawab: Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan, maksudnya menciptakan kehidupan dan menghilangkannya. Lalu Namrud berkata: "Saya pun dapat menghidupkan dan mematikan", yakni dengan membunuh dan memaafkan, lalu dipanggillah dua orang laki-laki, yang seorang dibunuh dan seorang lagi dibiarkan hidup.

Maka tatkala Ibrahim lihat Namrud seorang yang tolol, ia meningkatkan argumentasi yang lebih jelas dan lebih logis lagi: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari Timur, maka terbitkanlah oleh kamu dari Barat. Lantas Namrud bingung dan terdiam, tidak dapat memberikan jawaban atau dalih lagi.

*Guru besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement