Senin 10 Aug 2020 14:42 WIB

'Pahami Sejarah untuk Kuatkan Karakter Kebangsaan'

Para penyelenggara negara harus memberikan contoh kepada masyarakat.

 Pengasuh Pondok Pesantren Luqman Hakim ( tengah), dan Guru Besar Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah Asep Usman Ismail (kanan) dalam acara seminar Sufisme dan perjuangan politik dan kebangsaan saat Pembukaan Musabaqoh Kitab Kuning 2018 di Kantor Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jakarta, Ahad  (14/10).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Pengasuh Pondok Pesantren Luqman Hakim ( tengah), dan Guru Besar Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah Asep Usman Ismail (kanan) dalam acara seminar Sufisme dan perjuangan politik dan kebangsaan saat Pembukaan Musabaqoh Kitab Kuning 2018 di Kantor Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jakarta, Ahad (14/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bangsa yang besar dibangun dengan semangat yang tidak melupakan masa lalu dan jati diri bangsanya. Ketika krisis wawasan kebangsaan terjadi, itu karena masyakat mulai melupakan sejarah bangsanya sendiri. Padahal mengingat dan memahami sejarah adalah penting untuk menguatkan karakter bangsa khususnya bagi para kaum muda generasi penerus bangsa. 

Guru Besar Tasawuf Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Asep Usman Ismail mengatakan untuk menguatkan karakter bangsa, anak muda harus diajak dan dirangkul agar mereka punya wawasan terhadap sejarah bangsanya sendiri karena mereka yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ini ke depan.

"Di tangan mereka kualitas bangsa ini dipertaruhkan. Kalau hari ini ada bayi lahir maka 20 tahun kemudian dia sudah remaja. Kalau hari ini remaja, 20 tahun lagi sudah jadi pemimpin bangsa. Maka kaum muda harus punya pikiran yang terbuka, kreatif, inovatif dan komunikatif dalam melihat persoalan bangsa ini," ujar  Prof Asep Usman Ismail, di Jakarta, Rabu (5/8).

Ia menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara yang besar, baik diri sisi wilayah, jumlah penduduk, hingga kekayaan alamnya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kekuatan Sumber Daya Manusia (SDM). Menurutnya banyaknya umat Muslim di Indonesia yang mayoritas menjadikan negara ini adalah negara Muslim terbesar di dunia.

"Dengan Sumber Daya Alam (SDA) dan SDM-nya yang oke, banyak pihak tidak ingin indonesia kuat, mereka ingin disintegrasi dan kita tidak boleh terjebak pada hal itu. Jadi pikiran-pikiran yang ingin radikal akan terus bertumbuh kembang jika kita tidak menyamakan persepsi, jika kita mengelola negara tidak pakai konsep dan jika para penyelenggara negaranya tidak mencerminkan negarawan yang punya etika," tutur dosen kajian terorisme Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) itu.

Menurutnya, para penyelenggara negara harus memberikan contoh kepada masyarakat dengan mencerminkan sebagaimana dirumuskan dalam Pancasila. Karena jika tidak, akan semakin muncul pandangan-pandangan yang tidak puas yang kemudian berusaha mencari alternatif.

"Maka jika sudah seperti itu pandangan radikal akan dianggap sebagai alternatif. Untuk itu perlu upaya komprehensif dalam bidang pencegahan untuk yang belum terpapar dan bagi yang sudah terpapar. Nah pencegahan ini bisa dimulai dari unit terkecil yaitu keluarga, sekolah, lingkungan kampus, lingkungan kelompk-kelompok sosial masyarakat dan semua kalangan komponen bangsa," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement