Senin 10 Aug 2020 02:15 WIB

Islam Memuliakan Wanita

Wanita dalam Islam dimuliakan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Islam Memuliakan Wanita. Foto:  Ilustrasi Muslimah
Foto: Pixabay
Islam Memuliakan Wanita. Foto: Ilustrasi Muslimah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Dalam Islam, posisi perempuan sangat dimuliakan meski tidak perlu dipahami sebagai setara dengan laki-laki. Ada banyak dalil dalam Alquran yang menjadikan kedudukan perempuan itu sangat istimewa dan mulia.

Kesetaraan gender sebagaimana yang kerap digaungkan kaum modern cenderung menyisakan bias tersendiri. Kesetaraan gender belum tentu berarti keadilan gender bagi perempuan. Sedangkan dalam Islam, keadilan—terutama bagi perempuan—sangatlah dijunjung tinggi.

Baca Juga

Allah SWt berfiman dalam Alquran Surah An-Nahl ayat 97 berbunyi: “Man amala shalihan min dzakarin aw untsa wa huwa mukminun falanuhyiyannahu hayatan thayyibatan,”. Yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik,".

Dalam kitab Shahih Muslim pada konteks tertentu, perempuan justru memiliki posisi istimewa dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Al-jannatu tahta aqdamil-ummahati,”. Yang artinya: “Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu,”.

Namun demikian meski posisi perempuan sangatlah dimuliakan, perbedaan fisik antara laki-laki dengan perempuan jelas berbeda jauh. Kemampuan fisik perempuan dengan laki-laki pada umumnya memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing.

Jika secara hormonal laki-laki lebih berotot dan memiliki tulang serta kulit yang lebih keras dibandingkan perempuan, maka perempuan memiliki hormonal yang berbeda. Seperti dapat mengandung, melahirkan, hingga menyusui. Hal ini disebut sebagai perbedaaan kodrati.

Sedangkan secara sosial, peran serta kedudukan perempuang dengan laki-laki pun berbeda dalam keadilan yang diatur dalam agama. Meski demikian di dalam ranah sosial keluarga, urusan rumah tangga seperti menyapu, mengepel, hingga memasak kerap diidentikkan merupakan kewajiban kaum perempuan. Padahal sejatinya, hal itu merupakan kewajiban laki-laki.

Dalam kitab Hasyiyatul Jamal karya Sulaiman Al-Jamal disebutkan bahkan, wajib bagi suami untuk memberitahukan istrinya bahwa pekerjaan-pekerjaan rumahan seperti itu merupakan kewajiban suami. Wajib diberitahu karena apabila istri menyangka kewajiban itu adalah tugasnya, maka jika tidak ia lakukan maka dirinya merasa tidak berhak mendapatkan nafkah.

Sedangkan dalam lingup sosial seperti pekerjaan, para ulama sepakat bahwa nafkah merupakan kewajiban suami kepada istri dengan syarat-syarat yang tidak dilanggar istri. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam Alquran.

Allah berfiman dalam Surah Al-Baqarah ayat 233 berbunyi: “Wal-walidatu yurdhi’na hawlaini liman arada an yutimma ar-rhada’atu wa alal-mawaludilahu rizquhunna wa kiswatuhunna bil-ma’rufi la tukallifu nafsun illa wus’aha,”. Yang artinya: “Kaum ibu hendaklah menyusuai anak-anak mereka selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada kaum ibu (istrinya) dengan cara yang baik dan benar. (Allah) tidak akan memberikan kadar beban kepada hambaNya kecuali dengan kadar kesanggupan (hamba tersebut),".

Namun demikian, istri pun diperkenankan mencari nafkah atas seizin suami baik untuk mengembangkan diri, membantu ekonomi keluarga, hingga membebaskan keluarga dari jeratan utang. Dalam kitab Thabaqah karya Ibnu Sa’ad disebutkan mengenai seorang Muslimah di zaman Nabi bernama Rithah yang bekerja membantu suaminya.

Rithah yang merupakan istri dari sahabat Nabi bernama Abdullah bin Mas’ud bahkan berkonsultasi langsung dengan Rasulullah SAW perihal boleh tidaknya ia mencari nafkah. Rasulullah pun membolehkan langkah Rithah dalam mencari nafkah.

Kesetaraan gender yang digaungkan kaum feminis belakangan ini nampaknya harus diiringi dengan keadilan gender. Baik itu keadilan untuk perempuan, dan juga keadilan untuk laki-laki. Sebab kedua jenis manusia ini diciptakan Allah dengan kapasitas yang berbeda namun berhak mendapatkan keadilan dan hak yang diperlukan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement