Senin 10 Aug 2020 00:15 WIB

Masyarakat Adat: Hutan Bapak, Tanah Ibu

Negara belum hadir dan menjaga masyarakat adat dengan memastikan hak-hak konstitusi.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Anak-anak bermain pecut egrang di Kampung Baca Taman Rimba Papring Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (3/8/2020). Kegiatan permainan tradisional anak-anak sekolah adat itu, sebagai persiapan peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang akan digelar serempak  secara daring pada 9 Agustus 2020.
Foto: ANTARA/BUDI CANDRA SETYA
Anak-anak bermain pecut egrang di Kampung Baca Taman Rimba Papring Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (3/8/2020). Kegiatan permainan tradisional anak-anak sekolah adat itu, sebagai persiapan peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang akan digelar serempak secara daring pada 9 Agustus 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, Perempuan-perempuan dalam masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, memiliki peran untuk mengajak anak muda selalu menjaga hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka. Mereka selalu menanamkan hal itu dengan mengibaratkan hutan adalah bapak, tanah sebagai ibu, dan air merupakan darah.

"Kami selalu mengingatkan anak-anak muda bahwa hutan itu penting bagi kehidupan kita ke depan. Dan itu selalu kami ingatkan kepada mereka," ujar anggota masyarakat adat Sungai Utik, Kristiana Banang dalam diskusi virtual, Ahad (9/8).

Kristiana menjelaskan, tanpa ada bapak atau hutan, maka tak ada kehidupan. Begitu pula tanpa ada ibu yang melahirkan atau apabila tanah habis dijual atau dibabat, sumber kehidupan tak akan ada.

Hutan dan tanah pun, harus ada air di dalamnya, sama seperti tubuh yang membutuhkan darah. Tanpa air, hutan dan tanah akan mati.

Hutan sangat penting bagi mereka, sebagai tempat mencari nafkah, taman anak-anak bermain, hingga ladang yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti ikan, dan sayur-sayuran. Banyak tumbuh-tumbuhan yang dapat dikreasikan menjadi anyaman agar mempunyai nilai ekonomis.

Maka, para perempuan ikut berperan menjaga hutan adat, baik dalam pikiran maupun tenaga. Perempuan adat di Sungai Utik berkomitmen terus menyampaikan pentingnya menjaga hutan secara turun-temurun kepada generasi muda sebagai penerus perjuangan leluhur.

Menurut Kristiana, perjuangan para tetua Sungai Utik mendapatkan pengakuan negara dan hutan adat sebagai tempat kehidupan mereka, membutuhkan pengorbanan selama lebih dari 40 tahun. Hingga kini, perjuangan tak berhenti, anak muda harus terus menjaga hutan adat agar kehidupan masyarakat adat Sungai Utik terus berlangsung.

photo
Anggota masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik sedang berada di kawasan hutan adat mereka di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Hutan adat dengan luas sekitar 9.480 hektare itu telah mendapat pengakuan dari negara, lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 20 Mei 2020. - (Dok. Pribadi/Herkulanus Sutomo Mana)

"Supaya apa yang sudah kita perjuangkan oleh tetua-tetua kami, leluhur kami, harus diperjuangkan, tidak sebatas kami saja tetapi akan diturunkan kepada anak-anak muda yang ada di Sungai Utik ini," kata dia.

Kristiana menuturkan, generasi muda saat ini harus setia menjaga hutan. Jangan sampai hutan yang ada disia-siakan. Ia berharap, anak-anak muda yang menjalani pendidikan mau pulang untuk membangun kehidupan masyarakat adat Sungai Utik.

"Harapan kami ketika mereka sudah mendapatkan pendidikan yang baik, tolong anak-anak muda pulang ke Sungai Utik untuk membangun Sungai Utik," tutur dia.

Hal itu disampaikan Kristiana dalam peringatan hari masyarakat adat sedunia yang jatuh pada 9 Agustus ini. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi mengatakan, tinggal delapan hari lagi Indonesia meratakan 75 tahun kemerdekaan.

Namun, negara belum hadir dan menjaga masyarakat adat dengan memastikan hak-hak konstitusional mereka. Masyarakat adat masih menghadapi pemiskinan, pembunuhan, konflik, kriminalisasi, pemusnahan bahasa, krisis identitas yang terus meluas.

Hingga kualitas lingkungan hidup yang terus menurun dan berdampak terhadap semakin memburuknya situasi dan kesehatan masyarakat adat di seluruh pelosok Nusantara. Menurut Rukka, setiap pihak harus terus menjaga dan mempertahankan wilayah adat dari serbuan perusahaan sambil membangun solidaritas dengan para petani, nelayan, buruh, dan kaum miskin di perkotaan.

"Kita juga masih harus berjuang lebih keras untuk mendesakkan pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat sesuai dengan aspirasi kita. Hari ini, kita melihat ratusan komunitas nasyarakat adat menyerukan pengesahan Rancangan UU Masyarakat Adat," ucap Rukka.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement