Ahad 09 Aug 2020 14:34 WIB

Berburu Makanan Halal di Negeri Orang

Hanya toko Turki yang mendistribusikan daging halal dari RPH di Belanda.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Fakhruddin
Berburu Makanan Halal di Negeri Orang. Foto: Suasana restoran Toko Nusantara di Belanda.
Foto: Istimewa
Berburu Makanan Halal di Negeri Orang. Foto: Suasana restoran Toko Nusantara di Belanda.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Salah satu masalah yang dihadapi mahasiswa Muslim asal Indonesia kala di negara minoritas Muslim, yakni makanan halal. Susah susah gampang berburu makanan yang zat maupun cara mengolahnya sesuai syariat. Jikapun gampang memperolehnya, kendala lainnya, yaitu harganya selangit bagi kantong mahasiswa.

Itu seperti yang dialami Cahyo Pamungkas, mahasiswa S-3 asal Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Radboud, Nijmegen, Belanda. Cahyo beruntung, di Kota Nijmegen banyak restoran yang menjajakan makanan halal. Jumlah Muslim di kota ini cukup banyak dibanding kota lain di Negeri Kincir Angin tersebut. Mayoritas dari mereka berasal dari Turki dan Maroko.

Cahyo berujar, warga Turki dan Maroko memang banyak yang berprofesi sebagai pemilik restoran di kota terbesar kesepuluh di Belanda itu. Cahyo yang tinggal di Belanda sejak 2011 ini mengungkapkan mayoritas restoran yang dimiliki oleh Muslim Turki dan Maroko sudah memiliki sertifikasi halal. “Meski ada juga sebagian kecil yang belum,” ujarnya kepada Republika.

Uniknya, di Nijmegen tak hanya restoran Turki dan Maroko saja yang menjual makanan halal. Restoran Indonesia pun mudah ditemui di kota itu. “Ada tiga restoran Indonesia di sini,” ujar pegawai LIPI tersebut. Namun, meski berlabel restoran Indonesia, tak semuanya dimiliki orang Indonesia. “Satu milik orang Cina, satu orang Belanda, dan hanya satu yang dimiliki orang Indonesia asli,” ujar Cahyo yang mengaku sudah pernah mampir ke semua restoran Indonesia tersebut.

Meski menyajikan makanan Indonesia, ternyata tidak semua makanan yang disajikan berlabel halal. Restoran yang dimiliki orang Cina dan Belanda masih menyajikan daging babi sebagai sajian. “Ada juga makanan yang halal,” kata Cahyo. Saat ia bertanya ke pemiliki restoran, mereka mengaku membedakan alat masak untuk makanan halal dan yang mengandung babi.

Meski menjual makanan halal, ketiga restoran Indonesia tersebut belum memiliki sertifikat halal dari otoritas setempat. Mudahnya mendapatkan makanan halal di negeri orang tak lantas membuat Cahyo melulu makan di restoran. Harga yang cukup mahal untuk ukuran mahasiswa sepertinya membuat Cahyo memilih memasak sendiri untuk keperluan sehari-hari. “Padahal, saya gak bisa masak,” ujar Cahyo.

Sekali makan di restoran, setiap orang bisa menghabiskan 10-15 euro atau setara Rp 240 ribu. “Saya memilih memasak karena sekali makan di restoran dapat digunakan untuk satu pekan,” katanya.

Dalam berbelanja, Cahyo mengaku cukup kesulitan mendapatkan pasokan daging halal. Di Kota Nijmegen hanya ada satu rumah pemotongan hewan (RPH). Itu pun jaraknya jauh dari kediamannya tinggal. Sedikitnya, pasokan daging halal karena izin pendirian RPH sangat ketat di Belanda. Hanya toko Turki yang mendistribusikan daging halal dari RPH.

Kendala lainnya yang ia hadapi, yaitu permintaan daging halal sangat tinggi di Belanda. Pasokan yang kurang membuat toko daging Turki mendatangkan daging dari RPH yang belum bersertifikasi halal. “Jadi, meski menjual daging halal, belum tentu semua daging yang dijual halal. Mesti pintar-pintar memilih,” katanya memaparkan.

Khusus sosis, Belanda mengimpor dari negara lain yang memiliki sertifikasi halal. Tetapi bakso, diimpor dari Thailand dan Cina yang biasanya terdapat bahan campuran yang tidak halal. “Saya sarankan tidak membeli bakso di sini,” kata Cahyo.

Produk lain yang perlu diperhatikan, yakni dalam memilih roti. Roti merupakan makanan pokok masyarakat di Belanda.

“Kami biasa makan roti untuk sarapan, makan siang, dan makan malam, tetapi harus mengetahui bahan yang terkandung di dalamnya,” ujarnya. Cahyo mengaku harus bertanya kepada teman-teman yang mengerti bahan pembuat kue untuk mengetahui roti mana yang mengandung babi ataupun tidak.

Lain di Belanda lain di Taiwan. Bagi mahasiswa doktoral National Chiao Tung University Taiwan, Ashif Aminullah, sangat sulit mendapati restoran halal di sana. Pria asal Magelang ini mengaku tidak ada warga Taiwan asli yang menjual makanan halal. “Ada mi halal, tapi itu pun di Taipei,” kata Ashif. Ashif sendiri tinggal di Kota Hsinchu sekitar satu jam perjalanan dari Taipei. Makanan di Taiwan kental dengan olahan daging babi. Jika ada yang halal, hanya sedikit yang dijual, seperti di restoran India.

Guna menyiasati minimnya restoran halal, Ashif yang tinggal bersama istrinya memilih memasak sendiri kebutuhan makannya. Ia biasa masak sayuran dan seafood yang jelas kehalalannya. “Kalau pengen ayam, beli di pasar, lalu potong sendiri,” ujarnya. Kebutuhan daging halal hanya ada di masjid kota. Itu pun tidak tersedia setiap hari.

 

*Artikel ini sudah dimuat di Harian Republika, Jumat, 05 September 2014

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement