Ahad 09 Aug 2020 05:40 WIB

Kritik BPJPH Kemenag, MUI: Siapa Sih Guru Halalnya?

BPJH dinilai kurang sentuh menengah bawah yang jumlahnya justru lebih banyak.

Rep: Muhyiddin/ Red: Indira Rezkisari
Logo halal terpampang dipintu masuk salah satu restoran cepat saji di Jakarta, Ahad (16/10).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Logo halal terpampang dipintu masuk salah satu restoran cepat saji di Jakarta, Ahad (16/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Halal Nasional Majelis Ulama Islam (MUI), Muhamad Nadratuzzaman Hosen, menilai sertifikasi halal yang dilakukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) hanya menyentuh kalangan menengah atas. Menurut dia, peraturan sertifikasi halal dari lembaga yang dibentuk Kementerian Agama (Kemenag) tersebut tidak menyentuh kalangan menengah bawah umat Islam.

Dia pun mempertanyakan dasar dari penentuan wajib sertifikasi halal oleh BPJPH. "Wajib sertifikasi ini, kalau menjadi wajib dalam bahasa agama, itu tidak bisa ditinggalkan. Saya melihat sampai saat ini siapa sih yang jadi guru halalnya," ujar Nadratuzzaman dalam acara Polemik Trijaya bertema "Sertifikasi Halal dan Kesiapan BPJPH" yang diselenggarakan secara virtual, Sabtu (8/8).

Baca Juga

Selain itu, menurut Nadratuzzaman, perlu adanya pemahaman lebih komprehensif terhadap kegiatan usaha, utamanya usaha mikro. Namun, dia melihat aturan dari BPJPH lebih untuk kalangan usaha menengah ke atas.

"Usaha kecil itu, ultra mikro itu, kalau mau disertifikasi takut. Takut ketahuan tidak halalnya, akhirnya tidak jualan nanti bagaimana. Jadi kita tahu dulu psikologis masyarakatnya," ucapnya.

"Kita ini kan jangan melihat yang menengah ke atas. Nah saya lihat peraturan yang dibuat oleh BPJPH itu hanya cocok untuk menengah ke atas. Yang menengah ke bawah, di mana umat Islam disitu paling banyak justru tidak tergarap. Ini problem utamanya," ucapnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) M Ikhsan Abdullah menggugat Kepala BPJPH, Sukoso karena telah meresmikan PT. Sucofindo dan Pusat Pemeriksa Halal Universitas Hasanudin sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) tanpa melibatkan MUI. Ia memnilai, sesuai Pasal 14 UU/33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) BPJPH dijelaskan bahwa BPJPH harus melibatkan MUI dalam membentuk LPH.

“Mengenai auditor halal. Auditor halal itu harus dilakukan sertifikasinya oleh MUI, tapi yang terjadi BPJPH maju sendiri,” kata Ikhsan.

Menurut Ikhsan, yang dilakukan BPJPH keliru. Bahkan, dalam pembentukan LPH, terdapat dua keterangan yang berbeda, yaitu MUI mengaku tidak dilibatkan dalam kerjasama pembentukan, sedangkan BPJPH mengaku bahwa sudah ada kerjasama.

“Ini kan artinya bohong BPJPH ini. Saya ingin tahu, apakah benar atau tidak. Lewat surat resmi, dijawab oleh MUI belum pernah melakukan kerjasama dengan BPJPH. BPJPH bilang sudah (ada kerjasama),” jelasnya.

Dalam hal ini Ikhsan mengakui lebih mempercayai MUI sebagai tempat berkumpulnya para ulama. Karena itu, ia pun beberapa kali mengirimkan surat kepada ketua BPJPH, Sukoso. Bahkan, melalui pengacaranya Ikhsan sudah melayangkan somasi kepada BPJPH, tapi belum juga digubris.

Di acara yang sama, Pakar Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad meminta BPJPH mempercepat penerbitan kebijakan-kebijakan untuk mendukung pelaksanaan proses sertifikasi halal yang menjadi tugas dan fungsi badan tersebut. Suparji juga mendorong BPJPH untuk memastikan kehalalan produk yang beredar di wilayah Indonesia dengan meningkatkan pengawasan yang melibatkan pemangku kepentingan terkait.

"Mempercepat penerbitan kebijakan-kebijakan dengan meningkatkan koordinasi kepada MUI dan kementerian/lembaga terkait," kata Suparji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement