Ahad 09 Aug 2020 01:18 WIB

Anji, Obat Covid-19, dan Profesor Abal-Abal

Jangan semena-mena menyematkan gelar profesor.

Ichsan Emrald Alamsyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald Alamsyah*

Asal sebut dan minim riset, itulah yang kemudian disematkan kepada musikus Erdian Aji Prihartanto yang memiliki nama panggung Anji. Video Anji bersama pria yang dipanggil Profesor Hadi Pranoto yang awalnya diklaim sebagai pakar mikrobiologi justru menuai banyak protes.

Apalagi banyak yang kemudian menulis ulang beragam ucapan keduanya dalam video yang diunggah ke akun Youtube milik Anji berjudul "Bisa Kembali Normal? Obat Covid-19 Sudah Ditemukan!!".

Banyak kemudian klaim-klaim seperti obat corona Hadi yang disuplai ke RSD Wisma Atlet, langsung dibantah pengelola. Selain itu Ikatan Dokter Indonesia pun membantah Hadi Pranoto sebagai anggotanya. Begitu juga dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menyatakan belum pernah memberikan izin edar obat herbal diklaim mampu mengobati penyakit Covid-19 dalam waktu dua sampai tiga hari.

Soal panggilan profesor pun juga tampaknya membuat gempar dunia akademik. Bahkan sempat dibahas dalam talkshow berjudul "Etika Jabatan Akademik dan Penemuan Obat Covid-19".

Prof Ali Ghufron Mukti misalnya mengatakan "profesor" bukan sebuah gelar melainkan jabatan akademik tertinggi bagi dosen dan peneliti. Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN ini menyebut profesor harus melalui proses bukan gelar yang asal bisa diberikan.

"Dosen adalah suatu profesi yang luar biasa. Tidak boleh disalahartikan," kata Ghufron.

Mantan Wakil Menteri Kesehatan itu mengatakan ada kesalahan terkait dengan jabatan profesor di masyarakat Indonesia, termasuk di kalangan akademisi sendiri, sampai-sampai terdapat candaan bahwa gelar profesor harus disematkan pada diri seseorang sampai yang bersangkutan meninggal.

"Jadi profesor bukan gelar, jadi tidak bisa asal diberi," ungkap dia.

Padahal, dalam praktik akademik di luar negeri, seseorang yang sudah tidak lagi mengajar dan tidak menjadi dosen sudah tidak bisa bisa lagi disebut sebagai profesor. "Profesor harus dosen, harus mendidik. Menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi, termasuk memiliki rekam jejak dan publikasi ilmiah. Selain dosen, yang bisa menjadi profesor adalah peneliti," tuturnya.

Karena itu, gelar atau jabatan profesor tidak bisa asal saja disematkan pada seseorang, bila dia bukan seorang dosen atau peneliti yang sudah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan tersebut.

Sama halnya dengan yang diungkap Prof Ali Ghufron, Anggota Tim Penilai Penilaian Angka Kredit Dosen Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof Sutikno mengatakan profesor merupakan jabatan fungsional akademik tertinggi seorang dosen yang tidak bisa asal semat kepada seseorang.

"Bila seorang dosen bekerja secara sungguh-sungguh sesuai tugas pokok dan fungsi serta kewenangannya dan menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi, maka pada waktunya akan menduduki jabatan fungsional tertinggi sebagai profesor," kata Sutikno.

Untuk bisa menjabat sebagai profesor, ada syarat panjang yang harus bisa dipenuhi seorang dosen. Seorang dosen harus memenuhi kecukupan minimal 850 angka kredit. Selain itu, seorang dosen yang ingin menjadi profesor harus memiliki karya ilmiah.

Menurut Sutikno, persyaratan karya ilmiah bagi dosen di Indonesia relatif masih bisa dicapai, yaitu mempublikasikan satu artikel ilmiah di jurnal internasional yang bereputasi.

"Selain itu ada persyaratan administrasi berupa penilaian kerja yang baik dan perguruan tinggi pengusul serta program studi memiliki akreditasi minimal B. Semua itu akan dinilai kelayakannya oleh tim baik secara akademik maupun etik," tuturnya.

Karena itu, gelar atau jabatan profesor tidak bisa asal saja disematkan pada seseorang, bila dia bukan seorang dosen yang sudah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan tersebut.

Penulis, pun mengamini ucapan Prof Ali Ghufron. Tampaknya di Indonesia banyak orang yang ingin sekali dipanggil profesor. Jadi walaupun tidak mengamini atau membantah, akan tetapi dalam video tersebut sang penemu obat herbal tampak setuju, bahkan terangguk-angguk disebut profesor.

Walau kemudian, yang bersangkutan mengaku bukanlah seorang profesor. Pantas saja dalam video tersebut, Anji mengaku sulit mencari data 'Prof' Hadi Pranoto, ya karena memang bukan seorang profesor.

Terlepas dari asal semat profesor, setidaknya para publik figur harus memiliki kepekaan dan tanggung jawab. Seperti profesor, namanya saja publik figur dan influencer sudah seharusnya sudah barang tentu apa yang ia ucapkan langsung didengar publik. Dan sudah seharusnya memberikan influence atau pengaruh yang baik pula.

*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement