Jumat 07 Aug 2020 22:17 WIB

KPAI Nilai Pemerintah Kurang Tegas dalam Penetapan Kurikulum

Kurikulum darurat ini yang akan diberlakukan untuk masa pandemi Covid-19

Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) kurang tegas dalam menetapkan kurikulum darurat. Kurikulum darurat ini yang akan diberlakukan untuk masa pandemi Covid-19 guna mengendalikan penularan wabah tersebut.

"Kurikulum dalam situasi darurat ini harus digunakan seluruh sekolah, tetapi menjadi kurikulum alternatif," kata Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti melalui keterangan persnya di Jakarta, Jumat (7/8).

Baca Juga

Ia mengatakan, KPAI mengapresiasi upaya Kemendikbud untuk membuat kurikulum yang disederhanakan untuk situasi darurat Covid-19. "Meski barangnya (kurikulumnya) belum diketahui publik dan KKAI juga belum mendapatkan Permendikbud tentang standar isi dan standar penilaian, karena perubahan kurikulum semestinya didasarkan pada standar isi dan standar penilaian," kata dia.

Namun demikian, KPAI menyayangkan penetapan kurikulum tersebut karena dinilai kurang tegas. Sebab kurikulum dalam situasi darurat itu seharusnya digunakan untuk seluruh sekolah, bukan sekadar menjadi kurikulum alternatif.

"Seharusnya tidak boleh ada pelaksanaan kurikulum berbeda dalam satu tahun ajaran baru karena akan membingungkan guru dan sekolah di lapangan. sSeperti pernah terjadi pada saat Mendikbud Anies Baswedan, yaitu berlakunya dua kurikulum, kurikulum 2013 dengan kurikulum KTSP," paparnya.

Ia mengatakan bahwa di tengah masa pandemi seperti saat ini, kurikulum yang diberlakukan seharusnya adalah kurikulum yang juga disesuaikan dengan situasi darurat di seluruh Indonesia. Sehingga meringankan guru, siswa dan orang tua.

Oleh karena itu, KPAI menilai bahwa penetapan kurikulum darurat sebagai kurikulum alternatif merupakan bukti pemerintah masih kurang tegas dalam mengarahkan pembelajaran yang tepat untuk situasi darurat Covid-19.

Sementara itu, terkait dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diperbolehkan pemerintah untuk digunakan mengganti biaya kuota internet siswa kurang mampu agar bisa mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring, KPAI juga mengingatkan bahwa dana BOS hanya diterima sekolah setiap sempat bulan sekali. Adapun besaran dana tersebut, untuk jenjang Sekolah Dasar (SD) sebesar Rp 900 ribu tahun, SMP Rp 1,1 juta per tahun, SMA Rp 1,6 juta per tahun, dan SMK Rp 1,7 juta per tahun.

Dana BOS, kata Retno, selama ini telah digunakan untuk memenuhi delapan standar pendidikan nasional. Oleh karena itu, jika dana BOS digunakan juga untuk membiayai kuota internet tentu menyulitkan dan membebani sekolah. Karena sekolah harus bayar guru honor dan tenaga honor juga.

“Tidak ada pandemi saja dana BOS kurang. Apalagi ketika ada pandemi. Beberapa daerah memberikan juga BOSDA (BOS Daerah), tetapi tidak semua daerah karena sekolah juga harus menyiapkan infrastruktur kenormalan baru dengan dana BOS. Daftar belanja bertambah, tapi uang belanja tidak bertambah,” kata Retno.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement