Jumat 07 Aug 2020 18:31 WIB

SKK Migas Dorong Repsol Efisien Kembangkan Blok Sakakemang

Kebijakan harga gas khusus disinyalir menjadi persoalan bagi Repsol

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Gita Amanda
Kepala SKK Migas, Dwi Sutjipto, menjelaskan memang alotnya pembahasan POD Blok Sakakemang ini karena dari perhitungan Repsol, harga keekonomian gas berada di angka 7 dolar per mmbtu.
Foto: Republika/Maman Sudiaman
Kepala SKK Migas, Dwi Sutjipto, menjelaskan memang alotnya pembahasan POD Blok Sakakemang ini karena dari perhitungan Repsol, harga keekonomian gas berada di angka 7 dolar per mmbtu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Migas (SKK Migas) berharap penemuan cadangan gas terbesar di Blok Sakakemang masih bisa dilanjutkan. Saat ini SKK Migas masih melakukan pembahasan dengan Repsol agar harga gas dari proyek ini masuk keekonomian proyek.

Kepala SKK Migas, Dwi Sutjipto, menjelaskan memang alotnya pembahasan POD Blok Sakakemang ini karena dari perhitungan Repsol, harga keekonomian gas berada di angka 7 dolar per mmbtu. Padahal, di dalam negeri punya aturan harga gas khusus sebesar 6 dolar per mmbtu untuk industri tertentu.

Baca Juga

"Ini memang harus ada solusinya. Karena kan harga gas tergantung keekonomian," ujar Dwi di Kementerian ESDM, Jumat (7/8).

Dwi sendiri menilai sebenarnya harga keekonomian 7 dolar per mmbtu dari Repsol mestinya masih bisa turun. Sebab, kata Dwi harga keekonomian ini bergantung pada seberapa efisien investasi dalam menjelankan proyek ini.

 

"Keekonomian ini kan tergantung investasinya seperti apa. Kalau efisien saya yakin harga masih bisa ditekan. Saya kira ini masih ada solusinya," ujar Dwi.

Sebelumnya, Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Handoko mengaku saat ini SKK Migas sedang diskusi alot dengan Repsol soal kelanjutan proyek Sakakemang. Kebijakan harga gas khusus disinyalir menjadi persoalan bagi Repsol.

"Saat ini kita dari Divisi Komersial ikut campur dalam penentuan apakah bisa lanjut atau tidak karena harga keekonomian Repsol berbeda dengan harga yang kita coba bisa jual di Indonesia," ujar Arief dalam sebuah diskusi, Kamis (6/8).

Arief menjelaskan alotnya diskusi ini terjadi lantaran perusahaan minyak dan gas asal Spanyol itu meminta harga gas dijual di atas 7 dolar per MMBTU. Padahal, pemerintah telah menurunkan harga gas yang dijual di Indoensia untuk sektor industri maksimal 6 dolar per MMBTU melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016.

Diakui Arief, harga jual gas yang diminta Repsol lebih tinggi karena menghitung keekonomian mereka dalam memproduksi gas. Indikatornya mulai dari biaya eksplorasi hingga eksploitas yang diimplementasikan dalam Internal Rate of Return (IRR) tingkat efisiensi dari suatu investasi dan Net Present Value (NPV), yakni perbedaan antara nilai sekarang dari arus kas yang masuk dan nilai sekarang dari arus kas keluar pada sebuah waktu periode.

"Case real-nya saat ini kita sedang diksusi alot soal keberlangsungan Repsol. Kalo kita hanya pikirkan IRR kontraktor, penerimaan negara berkurang. Jadi kita harus imbang jaga keekonomian kontraktor dan penerimaan negara tidak berubah," kata Arief.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement